012

“Andre, gue lagi butuh waktu sendiri.” Kali ini Nowel sedikit mengeraskan suaranya, agar Andre berhenti mengetuk pintu kamarnya.

Sudah sekitar tiga puluh menit setelah Andre tiba di rumah, Nowel—tepatnya di depan kamar Nowel, tidak berhenti mengentuk pintu kamarnya.

Nowel sangat menghargai usaha Andre yang ingin memberinya semangat. Namun, untuk kali ini Nowel benar-benar ingin waktu sendiri, benar-benar sendiri dalam keadaan menyerah. Karena, tidak selamanya hidup dalam keadaan semangat, 'kan? Setidaknya menurut Nowel sendiri.

Kini ia sedang duduk—di atas kasur—sambil memeluk kedua kaki yang ia tekuk. Sesekali membenamkan wajahnya di antara kedua kakinya, untuk meredam suara isakan yang enggan pergi.

Rasanya sangat sakit hingga ia tidak bisa menolak isakan yang ingin keluar dari mulutnya. Padahal, ini bukan pertama kalinya ia dihadapkan dalam kondisi seperti ini. Diberi harapan, lalu diselingkuhi.

Dua tahun yang lalu, ia mendengar seseorang berkata kalau dirinya adalah masa depannya. Seseorang adalah Abev Khavian, seorang pria yang telah menjadi pacarnya selama enam tahun. Namun, setelah meyakinkan Abev, Nowel berhasil membuat Abev pergi mengejar masa depannya di Swiss tanpa harus melupakan dirinya di sini.

Namun, setelah satu tahun menjalin hubungan jarak jauh dengan Abev. Siapa sangka pria itu ternyata menjalin hubungan dengan wanita lain di sana, bahkan lebih memilih untuk melanjutkan hubungannya dengan wanita itu, dan melepaskan Nowel di sini. Hubungan hampir tujuh tahun kandas begitu saja.

Lalu, beberapa bulan setelah kejadian itu, seorang pria yang sudah lama ia kenal bernama Milano Nalendra, tiba-tiba datang dan memberinya harapan, membantu Nowel untuk bangkit dari keterpurukannya. Mempercayai Nowel, kalau ia pantas untuk dicinta.

Tapi sayangnya hubungan dengan Milano pun ternyata tidak berjalan dengan lancar. Siapa yang dapat menduga ternyata pria itu juga harus pergi dengan wanita lain.

Kini Nowel semakin percaya, kalau dirinya memang tidak pernah pantas untuk mendapatkan cinta, dari siapapun itu. Keluarga, teman, bahkan pacar.

Setelah puas menangis terisak-isak, Nowel meyakinkan diri untuk bangkit dari kasurnya. Ia melangkahkan kaki—sedikit terhuyung—ke arah meja membacanya. Di sana ia melihat surat-surat yang pernah Abev kirim kepadanya, surat-surat tentang Abev dan juga Swiss. Sayangnya kini surat-surat itu sudah tidak pernah ia dapatkan lagi.

Nowel menarik kursi lalu mendaratkan tubuhnya ke sana. Meraih surat-surat itu, lalu membacanya lagi satu per satu.

“Bev, kalau aja aku gak izinin kamu buat ke Swiss, kamu bakalan tetep di sini, 'kan? Sama aku?” molognya lirih, sambil berandai-andai kalau dulu saja ia menahan Abev tetap di sisinya. “Tapi, aku egois jadinya, 'kan, Bev? Tapi kayaknya lebih baik aku egois daripada aku harus kehilangan kamu.”

Ia kembali menangis, namun kali ini Nowel tidak mau kembali terisak. Ia pun menyeka air matanya segera, lalu menaruh kembali surat-surat itu di atas meja bacanya.

Bukan tanpa alasan juga Nowel tidak ingin kembali terisak. Sebenarnya ada satu hal yang benar-benar mengganggu dirinya sekarang. Yaitu, Andre, entah apa yang sedang pria itu lakukan di luar sana, yang pastinya Nowel mendengar suara yang sangat keras, yang Nowel duga berasal dari televisi.

Saat Nowel keluar dari kamarnya dan melangkah ke ruang tengah yang sangat dekat dengan kamarnya, benar saja dugaan Nowel, ia melihat Andre sedang menonton acara televisi dengan suara yang sangat kencang, hingga telinga Nowel terasa sakit. Segera Nowel mengambil remote yang ada di meja di hadapan Andre, lalu mengecilkan volume televisi itu. Lalu keadaan kembali tenang.

“Lo mau budeg nonton tv suaranya segede itu!” gerutu Nowel sedikit kesal.

Pelaku bukannya merasa bersalah, ia malah terkekeh bangga, sambil menepuk-nepuk sofa memberi kode agar Nowel duduk di sampingnya.

Nowel memutar bola matanya kesal, namun ia tetap menuruti Andre dan duduk di samping pria itu menghadap ke arah televisi yang sedang menutar acara entah apa itu.

“Tonton deh, Now. Lucu, kayak hidup suka ngelawak.”

Nowel terheran-heran ia ingin tertawa juga mendengar perkataan Andre yang ada benarnya. Lalu, tanpa memberi komentar apapun, Nowel ikut larut menonton acara aneh yang sedang ditonton oleh Andre.

Andre tidak berbohong, acara itu benar-benar lucu, sampai Nowel tidak bisa menahan tawanya, padahal baru saja beberapa menit yang lalu ia menangis terisak-isak.

“Lucu, 'kan?”

“Sumpah lucu banget, ego. Gak kuat gue, ha ha ha!” Nowel memukul pundak Andre sambil tertawa terbahak-bahak, ia benar-benar tidak bisa menahannya.

“Gue bilang juga apa.”

Nowel mengangguk setuju, lalu setelah itu ia diam dan menyandarkan tubuhnya kembali ke senderan sofa.

“Makasih, ya, Ndre. Gue enggak tahu mau bilang apa lagi ke lo. Lo selalu bantu gue kalo gue lagi kena masalah.”

“Iya, soalnya lo cuman punya gue. Maksudnya, sahabat lo, kan, cuman gue.”

Nowel mengangguk setuju. “Iya. Tapi, lo gak harus segitunya juga, kok, Ndre. Lo, kan, ngejaga gue juga karena disuruh Abev, sekarang gue bukan siapa-siapanya Abev lagi.”

Andre mengerutkan keningnya sambil menoleh menghadap Nowel, hingga mereka saling menatap keheranan.

“Kata siapa gue mau jadi sahabat lo karena Abev?”

“Terus?”

“Ya, karena gue mau, lah!”

Nowel tertawa sambil menggeleng. “Bullshit, lo tahu gue dari SMA, lo sahabat Abev awalnya, gue pacar Abev pas SMA. Semua orang juga tahu kalau gue beruntung punya Abev, padahal waktu SMA gue dimusuhin sama semua orang.”

“Banyak hal di dunia ini yang lo gak tahu, Now.”

Nowel mengerut keheranan. “Makanya kasih tahu.”

“Dan banyak hal di dunia ini yang lo gak perlu tahu.”