10

Maudy sudah terlebih dahulu sampai di sekolah, sesampainya ia di sekolah, segera gadis itu melangkah ke kelas Revano.

Kebetulan mereka berdua berbeda kelas. Jadi sudah menjadi rutinitas Maudy, setiap pagi akan pergi ke kelas Revano.

Senyum Maudy mengembang saat melihat Revano muncul dari balik pintu, namun senyum itu hanya sesaat, dan pudar saat melihat Gema yang ada di belakang Revano.

“Pagi?” sapa Revano ketika sampai di tempat duduk yang sudah ada Maudy.

Tak lupa Revano mengusap kepala Maudy dengan lembut, sebagai sapaan paginya.

“Pagi, Reno!” balas Maudy dengan semangat, persetan dengan Gema.

“Aku bawa sandwich, loh, buat kamu.” Maudy mengangkat kotak bekal yang tadinya ada di meja.

“Wah, sandwich!” seru Gema menarik perhatian Maudy dan Revano.

“Boleh buat aku, gak, Dy? Aku belum makan, nih, boleh, ya?” pinta Gema dengan raut wajah yang ia imutkan.

Namun begitu menjijikkan untuk Maudy lihat. Maudy terdiam, ia kembali menoleh ke arah Revano, berharap Revano tidak menyerahkan sarapannya itu untuk Gema.

“Boleh, kan, Dy? Kasihan Gema, lagian aku gak terlalu suka sarapan,” kata Revano membuat Maudy begitu kecewa.

Dengan raut wajah tidak bersahabat, Maudy menyerahkan kotak bekalnya kepada Gema.

Gema berseru kesenangan dan tersenyum, lalu ia duduk di bangku yang ada di sebelah bangku Revano.

“Kalo gitu aku mau ke kelas dulu, ya.” Maudy hendak melangkah keluar, namun langkahnya tertahan karena Revano menarik tangannya.

“Kamu gak marah, kan?” tanya Revano sedikit khawatir.

Maudy menggeleng, ia menepis tangan Revano sedikit kasar.

“Gak. Ngapain.” Suara Maudy kecil namun tegas. Tersirat kekecewaan di sana.

Maudy kembali melangkah, secara kebetulan ia bertemu dengan tiga serangkai, Moreo, Zaidan dan Damar di pintu.

“Eh, Audy,” sapa Damar.

“Halo Ody sahabat, ku,” sapa Zaidan kemudian.

“Ngapain, Dy?” tanya Moreo penasaran.

“Biasalah jumpa pujaan hati,” timpal Zaidan menjawab pertanyaan Moreo.

Maudy mengangguk membenarkan, ia seperti malas untuk menjawab pertanyaan Moreo.

“Duluan, ya.” Maudy berjalan melewati tiga serangkai itu.

“Ody sahabat ku, nanti pinjam novel lagi, ya!” teriak Zaidan sebelum Maudy melangkah lebih jauh.

Maudy merespon dengan mengangkat tangannya.

“Wihh enak banget, nih, sarapan sandwich.” Zaidan menatap Gema dan kotak bekal yang ada di hadapannya.

“Ya, dong!”

Saat Gema hendak memakan sandwich tersebut, segera Moreo menahan tangan Gema.

“Kenapa, sih?” decak Gema kesal.

Moreo meraih sandwich yang sudah ada di tangan Gema tadi, lalu meletakkannya kembali di tempat bekal.

“Makan.” Moreo melempar kotak bekal itu ke hadapan Revano.

Sontak Revano menatap Moreo keheranan.

“Apaan?”

“Apaan?” Moreo mengulang pertanyaan Revano.

Lalu Moreo tertawa sini, dan berkata, “Cewe lo udah susah-susah buat sarapan, malah lo kasih ke cewe lain?”

Revano menghela napas kasar, jujur ia tidak mau menanggapi perkataan Moreo barusan.

“Moreo apa, sih! Aku laper,” bentak Gema tidak terima. Gema hendak merampas kembali kotak bekal itu.

Namun dengan sekuat tenaga Moreo menahannya.

“Lo kalo gak sayang sama Maudy lagi, putusin bego!” Tegas Moreo.

Ok, kini Revano mulai tertarik, ia mendongak untuk menatap Moreo yang ada dihadapannya.

Sedangkan Damar yang ada di sisi kiri, berusaha untuk membungkam Zaidan yang sedari tadi ingin bersuara.

Satu persatu murid mulai berdatangan, tentu saja suara lantang Moreo menarik perhatian mereka.

“Gue sayang sama Maudy,” ucap Revano.

Moreo mendecak kesal, bahkan ia mengeluarkan seringai di bibirnya.

“Sayang kata, lo? Darimana sayang kalo jelas-jelas lo kasih pemberian dia, buat cewek lain!”

“Bukan cewek lain! Tapi Gema!” Suara Revano sama keras dan tegasnya seperti Moreo.

Tak ingin urusannya semakin panjang, segera Revano mengambil kotak bekal yang ada di tangan Moreo.

Revano mengambil sandwich dan memakannya dengan kasar.

“Puas, lo?”

Moreo hanya bisa menggelengkan kepalanya, melihat tingkah laku Revano.

Moreo segera mengambil langkah menuju kursinya.

“Astaga sahabat, mari kita tarik napas dan keluarkan. Tidak baik bermusuhan,” seru Zaidan saat Damar sudah tidak membungkamnya.

Namun seruan Zaidan tidak ada yang tanggapi.

“Sabar Idan, Idan mah happy selalu!!”