108

Tw // gun


“Aku tau Milla dimana.” Kalimat yang langsung Jovas lontarkan ketika Wisnu membuka jendela mobilnya.

Wisnu dan Robert sama terkejutnya mendengar ucapan Jovas. Segera saat itu juga Wisnu hendak membuka pintu mobil dan turun dari mobil. Namun segera ditahan oleh Jovas.

“Gak ada waktu buat berbincang. Milla dalam bahaya sekarang. Aku akan bawa kalian ke sana, tapi jangan bawa petugas dulu,” tahan Jovas dengan tegas.

Wisnu menoleh menatap Robert, meminta jawaban darinya. Robert hanya mengangguk sebagai respon.

“Masuk.” Wisnu memberi kode agar Jovas masuk ke mobilnya.

Segera Jovas masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang mobil. Dia rela meninggalkan mobilnya di sana, demi menjemput Milla terlebih dahulu.

Jovas memberikan ponselnya, menunjukkan sebuah alamat di sana.

“Gedung tua yang gak jauh dari pasar,” katanya kepada Wisnu.

Tanpa sepatah katapun Wisnu segera melaju mobilnya menuju alamat itu.

Robert memandang Jovas, dengan pandangan aneh dan juga menaruh curiga.

“Lo tau darimana dia di sana?” Tanya Robert berusaha tetap tenang, walaupun dia curiga kepada Jovas.

“Milla chat aku, dan aku langsung sadar seketika,” jawabnya dengan jujur.

Jovas menunjuk isi percakapan terakhir yang Milla kirim kepadanya. Sedikit merasa aneh, tapi Robert tetap berusaha untuk percaya kepada Jovas.

Menyadari dengan ekspresi Robert. Jovas sedikit tidak enak kepadanya.

“Tadi aku chat Milla, mau balikin fake nails dia. Mungkin roomchat aku di pertama, jadi dia chat aku,” ujar Jovas, sedikit menduga kalau sekarang Robert sedang menaruh curiga kepadanya.

Robert hanya mengangguk. Tidak banyak respon yang dia lontarkan.

“Lo kenapa yakin dia di sana?” Kini Wisnu yang bertanya, sedikit menatap Jovas dari pantulan kaca.

“Aku yakin.”

Jawaban Jovas sedikit tidak jelas. Namun Wisnu tidak kembali bertanya karena kode dari Robert.

Sesampainya mereka di sana, mereka hanya disambut oleh gelapnya malam serta suara binatang-binatang kecil yang membuat suasana tidak terlalu hening.

Jika saja orang penakut yang berada di sana, mungkin dia akan berteriak karena ketakutan. Sungguh menyeramkan suasananya.

Mereka melangkah dengan pelan, sedikit demi sedikit mendekati pintu bangunan kosong itu.

“Kalian tunggu di sini, biar aku aja yang masuk,” titah Jovas seakan dirinya lah yang memimpin.

Robert dan Wisnu saling melemparkan pandangan. Bahkan kening mereka sama berkerut nya.

“Aku tau siapa pelakunya.”

Kalimat berikut yang keluar dari mulut Jovas sedikit menjawab kebingungan mereka.

“Siapa?” Tanya Robert.

“Debt colector, sekaligus ketua gengster sekitaran sini. Mereka sering merampas uang-uang pedangan di pasar, sering mengambil keuntungan dari orang-orang yang meminjam uang di bos mereka,” jawab Jovas.

Jovas mengetahui hal itu karena dia sering melihat aksi para gengster itu saat dia di pasar, terlebih Jovas sering berada di pasar pada saat tengah malam.

“Orangnya gak kenal ampun. Organisasi mereka awalnya tertata rapi, sampai bos pertama mereka meninggal dan kini diambil alih oleh anaknya.”

Jovas menoleh menatap Robert dan Wisnu secara bergantian.

“Aku udah sering tanya, kenapa mereka enggak lapor ke polisi, aku tanya ke beberapa pedangan di pasar.”

“Kalian tau jawaban mereka apa?” Tanya Jovas masih dengan menatap Wisnu dan Robert secara bergantian.

Robert dan Wisnu menggeleng secara bersamaan.

“Karena percuma,” jawabnya. “Polisi pun tidak mereka takuti, banyak hal yang bisa mereka lakukan.”

Cukup dibuat terkejut dengan jawaban yang Jovas lontarkan. Pasalnya baik Robert ataupun Wisnu, mereka sama-sama tidak mengetahui adanya hal itu.

“Makanya aku bilang jangan bawa petugas, karena akan mancing gengster itu.” Jovas mengangkat tangan kanannya, lalu melihat jam tangan yang dia kenakan.

Waktu sudah menunjukkan setengah tiga dini hari. Sudah begitu larut tentunya.

“Jam segini biasanya mereka masih di pasar ataupun buat kekacauan. Kita punya waktu sebelum jam empat.”

Jovas membalikkan tubuhnya, sedikit mundur agar bisa melihat Robert dan Wisnu.

“Kalian mau kerja sama, 'kan?” Tanyanya.

Robert dan Wisnu tidak langsung menjawab, mereka malah memandang satu sama lain.

“Kenapa kita harus percaya sama kamu?” Tanya Robert dengan sangat tidak yakin kepada Robert.

“Bagaimana kalau ini hanya jebakan, dan kamu salah satu dari mereka,” sambungnya.

Jovas tidak tersinggung. Bahkan dia masih bisa mengukir senyum di bibirnya.

“Sesama penjahat akan takut jika berhadapan dengan penjahat lainnya. Tapi aku tidak takut, karena aku dan dia berbeda,” jawabnya dengan tenang.

Jawaban Jovas sedikit tidak bisa dimengerti. Namun Robert berusaha untuk percaya kepada pria itu.

“Milla teman aku juga. Tidak ada teman yang akan menyakiti temannya. Iya, 'kan?”

Wisnu masih menatap Robert, menatap dengan tatapan penuh pertanyaan, dan tatapan menunggu jawaban. Lalu Robert mengangguk tidak yakin.

“Terus kita ngapain?” Kini Wisnu yang bertanya.

“Cukup tunggu di luar sampai aku kasih kode untuk masuk. Setelah itu pastikan tidak ada alat komunikasi apapun yang ada di 'dia'. Setelah itu bawa dia kemanapun kalian mau.”

“Bagaimana dengan Milla?”

“Kamu sayang Milla, 'kan, Rob?” Bukannya menjawab, Jovas malah bertanya dengan pertanyaan yang membuat Robert bungkam.

“Balas perlakuan dia setimpal mungkin. Milla akan aku bawa ke rumah sakit ... Aku janji.”


Seperti rencananya, kini Jovas pelan-pelan masuk ke dalam bangunan tua itu. Sedangkan Robert dan Wisnu menunggu di luar, dengan posisi berdiri di sisi pintu, tidak lupa memegang pistol mereka. Berjaga-jaga jika ada sesuatu hal yang tidak diinginkan terjadi.

Hal pertama yang Jovas lihat ketika dia menginjakkan kaki di dalam bangunan itu adalah Oil drum yang bertebaran dimana-mana, ada yang berdiri tegap ada juga yang sudah terjatuh.

Sepanjang mata Jovas memandang, dia masih belum menemukan Milla di sana. Tapi dia yakin kalau Milla ada di sana.

Dengan tenang dan yakin Jovas kembali melangkah, satu tangannya dia masukkan ke kantung Hoodie yang kebetulan tersambung, ada sesuatu yang dia sembunyikan di sana.

Selain oil drum, Jovas juga menemukan beberapa botol miras kosong beserta kardus-kardus yang sudah rusak.

“Mau ngapain kamu.”

Suara itu berhasil membuat Jovas tersentak. Segera dia membalikkan tubuhnya.

Gotcha

Jovas bernapas lega saat melihat Milla. Namun tidak begitu lega, karena keadaan Milla yang sekarang sedang disekap.

Benar dugaan Jovas, dia lah yang menculik Milla. Seorang ketua gengster dan juga seorang debt colector yang sering membuat ricuh.

Dia biasa di kenal dengan panggilan bos snake . Karena lambang gengster mereka adalah ular, dan juga perilaku dia yang seperti ular. Kadang tidak berbahaya kadang begitu berbahaya.

Namun Jovas mengetahui nama asli bos snake itu. Dia adalah Rifan Suardi.

“Lepasin Milla, Rifan.”

Rifan yang kini sedang menyekap Milla, dengan posisi tangan kiri dia tautkan di leher Milla dan tangan kanan memegang pisau yang dia arahkan ke leher Milla.

Sedangkan Milla hanya memejamkan matanya dengan air mata yang terus mengalir.

Saat mendengar suara seseorang, Milla memberanikan untuk membuka matanya. Dia sedikit tenang namun juga kembali menangis karena Jovas kini ada di hadapannya.

“Jo ...,” lirihnya dengan suara yang begitu kecil.

Rifan semakin mengeratkan tautan tangannya di leher Milla.

“Darimana kamu tau nama saya?” Tanya Rifan kepada Jovas.

“Ternyata benar kamu Rifan.” Jovas mendekat secara perlahan, namun itu menjadi ancaman bagi Rifan.

Rifan semakin mendekatkan pisau itu yang kini sedikit menggores pelipis Milla.

“Jo ...”

“Lepasin dia Rifan.” Suara Jovas kini menjadi sedikit tegas dari biasanya. Bahkan aura yang dia keluarkan begitu berbeda.

“Boleh, setelah saya bunuh dia!”

“Jovas!” Milla berteriak karena pisau itu menggores pelipis Milla kembali.

“Oh ..., Jovas nama lo? Cewe lo, nih? Gue bunuh, ya?” Ancam Rifan.

Masih sama dengan sebelumnya. Jovas masih tenang seperti tadi. Tidak ada rasa takut sedikitpun yang dia tunjukan. Bahkan masih sempatnya Jovas mengeluarkan seringai di bibirnya.

“Pisau kamu bagus ...” Jovas menggantung ucapannya, kemudian tangan yang tadi masih ada di hoodie. “Tapi punya saya lebih bagus, 'kan?” Jovas mengeluarkan isi kantung hoodienya.

Sebuah pisau yang selalu dia bawa kemana-mana. Jangan heran, karena dia gunakan untuk membunuh ayam-ayamnya.

Merasa terancam Rifan semakin mencekik leher Milla. Pisau yang ada di tangannya dia pindahkan mengarah ke leher Milla.

“Satu langkah lo mendekat, gue tusuk dia. Lo tau nama gue, berarti lo tau gue gimana, 'kan? Gue gak kenal ampun!” Ancamnya lagi, namun suaranya sedikit bergetar entah mengapa.

Jovas masih belum terancam, dia masih tenang, bahkan masih bisa mengeluarkan senyuman. Dan itu membuat Rifan terpancing emosinya.

“Letakin pisau lo!” Teriak Rifan.

“Jo ...” Tak henti-hentinya Milla menyebutkan nama Jovas, dengan doa yang ia lontarkan di dalam hati.

Fine,” kata Jovas.

Tapi, sebelum dia meletakkan pisau itu, Jovas membalikkan pisau itu terlebih dahulu. Tak lupa juga dia mengangkat kedua tangannya. Ada yang aneh dari Rifan, setelah Jovas membalikkan pisau miliknya, ekspresi yang Rifan tunjukan semakin aneh.

Pelan-pelan, sedikit demi sedikit, Jovas meletakkan pisaunya. Bersamaan dengan itu, Rifan pun melepaskan Milla dan mendorongnya ke arah Jovas.

Segera Jovas berlari dan meraih Milla, dan segera membawa tubuh gadis itu ke dalam dekapannya.

“Robert, now!” Jovas berteriak ketika Rifan hendak kabur.

Di luar, Robert dan Wisnu saling mengangguk ketika mendengar seruan Jovas. Dengan sigap keduanya masuk ke dalam.

Robert dan Wisnu langsung dihadapkan dengan Rifan yang berusaha kabur. Dengan kesigapan dan kekuatannya, Robert menendang Rifan dengan begitu kuat, kemudian membuatnya menjadi berlutut tidak lupa pula dia memborgol tangan Rifan dari belakang.

“Periksa, Wisnu,” perintah Robert, agar Wisnu memeriksa seperti yang Jovas bilang kepada mereka tadi.

“Tadi aku diculik, terus aku di-di ...” Milla yang kini ada di dekapan Jovas, mengadu kepada pria itu. Namun dia tidak kuasa kembali mengingat kejadian tadi.

Jovas semakin mengeratkan dekapannya. Bukan bermaksud tidak sopan, namun sebisa mungkin dia menangkan gadis itu.

“Diapain kamu? Biar saya balas,” kata Jovas begitu tegas dan dingin. Berbeda seperti Jovas biasanya.

Milla menggeleng enggan menjawab pertanyaan Jovas.

Lalu Jovas menangkap pipi Milla dengan tangan kanannya, dan satu tangan yang dia gunakan untuk menahan tubuh Milla.

Wajah Milla begitu berantakan, luka dimana-mana. Di mata, hidung, pelipis, bahkan bibir seperti baru digigit begitu kuat.

“Bilang ke saya, Milla.”

Milla menangis sesegukan, dia tetap tidak mau menjawab, malah gadis itu menenggelamkan wajahnya di dada bidang Jovas.

“Bawa bajingan itu Robert,” perintah Jovas dengan menggebu-gebu.

Robert menatap Jovas, sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja Jovas ucapkan. Jovas, pria yang selalu dia dengar dari Milla adalah pria yang tidak kasar atau pria lembut. Namun kini berbeda dari biasanya.

“Dia udah lecehkan perempuan mu,” sambung Jovas, berhasil membuat Robert terpancing emosinya.

Tanpa berbicara lagi, Robert menyeret Rifan dari sana. Kalau bisa sangat ingin dia lemparkan ke neraka.

“Aku di sini, jangan nangis lagi, ya? Aku akan temenin kamu, aku gak akan ninggalin kamu. Aku janji kami gak akan alami ini lagi. Trust me, Milla Gill.