109
“Kak ..., jujur gue takut,” ucap Maudy ketika dirinya dan Mahen tiba di kuburan.
Kata Damar, Revano ada di kuburan sang kakak disaat dia da masalah. Awalnya Maudy bingung, bahkan ia tidak tau kalau Revano punya seorang kakak. Namun Damar berpesan agar menjemputnya, takut kalau laki-laki itu nekat.
“Tapi kamu kasihan, kan? sana gue tunggu di sini,” kata Mahen.
Maudy terdiam tidak ada respon. Samar-samar Maudy melihat seseorang sedang duduk dengan posisi memeluk kedua kakinya dari jauh sana. Ia yakin pasti itu Revano, tapi ia tidak yakin apa itu Revano asli atau Revano jadi-jadian.
Maudy menghela napas lalu menoleh menghadap Mahen, dan berkata, “Jujur, ya, kak. Gue lebih takut setan dari pada manusia, walaupun manusia itu jahat nan keji, tapi setan lebih menyeramkan,” ucapnya panjang lebar, tak lupa Maudy membuat raut wajah yang sedikit lebay.
“Kalo manusia bisa gue tampar kalo jahat, kalo setan gak bisa malah tembus nanti,” sambungnya, membuat Mahen tertawa.
Dari ucapan sampai raut wajah Maudy benar-benar membuat Mahen ingin tertawa kencang, andai saja sekarang masih siang pasti tawanya sudah pecah.
“Yaudah gue temenin, mau?” tawar Mahen, seraya menatap mata Maudy.
Sejenak mereka hanya saling menatap satu sama lain. Lalu Maudy mengangguk setuju dan menyuruh Mahen untuk jalan terlebih dahulu.
“Udah samperin sana,” ucap Mahen, setibanya mereka didekat seseorang yang diduga Revano.
Namun Maudy masih ragu, ia takut yang ada dihadapannya sekarang bukan Revano manusia.
“Takut, kak.” Maudy menggeleng.
Mahen menghela napas lalu bersuara, “Vano,” panggil Mahen.
Revano menoleh keasal suara. Maudy sontak sembunyi dibelakang Mahen, jaga-jaga kalau yang noleh itu bukan Revano. Lalu Revano tersenyum kecil dengan mata yang liar menatap Maudy.
“Hai ...” Setelah menyapa balik, Revano kembali menoleh ke arah kuburan.
Setelah yakin itu Revano, Maudy segera menghampiri Revano dan duduk di samping Revano. Dengan perasaan yang was-was Maudy mengusap pundak kanan Revano.
“Aku di sini, kamu butuh aku, kan?” ucap Maudy berusaha menenangkan laki-laki yang ada di sampingnya.
Pundak Revano bergetar, Maudy dapat merasakan getaran itu. Pasti Revano pasti kedinginan, ia hanya menggunakan kaos lengan pendek.
“Pulang yuk?” ajak Maudy dengan suara lembutnya.
Tangan Revano bergerak mengelus batu nisan kuburan yang ada di hadapannya. Batu nisan itu bertuliskan Rina Bentala dan ada nama Jordan, Ayah Revano. Sudah dapat dipastikan itu kuburan sang Kakak Revano.
“Pulang ke mana? aku udah gak punya rumah untu pulang. Dulu kakak aku tempat untuk pulang, tapi dia pergi. Lalu kamu dan kamu juga pergi. Keduanya pergi karena kebodohan aku,” jawab Revano, tangannya masih setia mengusap batu nisan Rina.
Maudy dapat merasakan sakit saat mendengar jawaban Revano, ternyata luka yang disimpan Revano masih terlalu banyak yang belum ia ketahui.
“Pulang ke aku lagi, ya? aku gak pernah pergi.” Maudy memeluk tubuh Revano dari samping. Tubuh itu benar-benar terasa dingin.
Tidak ada jawaban dari Revano, tiba-tiba Maudy merasakan ada air jatuh di tangannya, itu bukan air hujan melainkan air mata Revano.
Maudy menangkup kedua pipi Revano, ia tak tau seberapa banyak luka yang laki-laki itu pendam sendirian, sampai ia memilih untuk menyendiri di kuburan saat malam hari.
“Hei, i'm here. Walaupun aku bukan siapa-siapa kamu lagi, kamu bisa pulang ke aku. Kamu, kan, yang selalu bilang aku rumah kamu? lantas pemilik rumah akan selalu pulang ke rumah dia, apapun yang terjadi,” ucap Maudy, jari-jarinya mengusap pelan air mata Revano yang terus mengalir.
Maudy menjeda sebentar, agar dirinya tidak terbawa suasana dan ikut menangis.
“Kecuali kalau kamu pindah ke rumah yang baru, untuk sekarang kamu masih bisa pulang ke aku,” sambung Maudy.
“Aku mau pulang ...”
“Ayo pulang ...”
Setelah membujuk Revano dengan waktu yang lama, akhirnya ia berhasil membawa Revano pulang. Kini Maudy, Revano dan Mahen sedang berada di mobil menuju rumah Maudy.
Sesampainya di rumah Maudy, hanya gadis itu yang turun dari mobil, sedangkan Revano tidak diizinkan Maudy untuk menginap di sana, takut Robert akan marah.
“Aku pulang, ya. Kak tolong antar Reno, ya?”
Mahen mengangguk. “Pasti.”
Setelah itu Mahen kembali melajukan mobilnya. Sejenak Mahen menatap Revano dari kaca, ia melihat laki-laki itu tertidur nyenyak di belakang.
“Sekejam itu dunia.”