112
Revano dan rumah
Bagi sebagian orang tua anak adalah anugerah. Di luar sana banyak orang tua yang sangat menginginkan kehadiran seorang anak di kehidupan mereka. Namun hal itu tidak berlaku bagi orang tua Revano.
Rosa, Ibu Revano menikah dengan Devano, Ayah Jordan atas dasar perjodohan. Sama sekali tidak ada cinta diantara mereka. Bahkan cinta Jordan terdapat pada wanita lain.
Tak mudah bagi Rosa, namun ia tidak bisa melakukan apa-apa selain menurut dan diam. Namun diam-diam wanita yang dicintai oleh Jordan melahirkan seorang anak yang sangat cantik, Jordan terlihat sangat bahagia saat anak itu lahir, namun sayangnya ibu dari anak itu tidak bisa diselamatkan.
Hari itu menjadi hari yang sangat menyedihkan bagi Jordan, merubah watak Jordan menjadi sangat keras dan dingin. Rosa menghabiskan waktunya untuk mengurus anak suaminya dengan wanita lain.
Namun hal itu ia lakukan dengan tulus dan ikhlas, berharap Jordan akan luluh dan bisa menerimanya.
Tapi Jordan adalah Jordan, separuh jiwanya sudah ikut pergi dibawa oleh wanitanya seddangkan separuh lagi kini hidup di raga anak perempuan yang ia beri nama Rina.
Sampai suatu malam Jordan melakukan kesalahan, tak sengaja ia melakukan hubungan dengan Rosa. Namun hal itu tidak bisa dibilang sebuah kesalahan, bukan? Hal itu biasa terjadi bagi suami dan istri.
Tak lama Rosa dikabarkan mengandung, Rosa tentu saja senang mendengarkan kabar itu, namun tidak bagi Jordan. Ia sangat membenci saat mendengar Rosa hamil.
Berulang kali Jordan menyuruh Rosa untuk tidak melahirkan anak itu, namun takdir berkata lain, anak itu lahir sebagai anak laki-laki yang sangat tampan.
Awalnya Rosa takut, takut anak itu akan tumbuh menjadi seperti Jordan.
Kedua anak Jordan dan Rosa tumbuh besar bersama. Rina yang kini menginjak usia lima tahun dan Revano yang menginjak umur dua tahun.
Banyak sekali perbedaan yang mereka terima disaat masa pertumbuhan. Rina yang selalu menerima kasih dan sayang dari Jordan. Revano yang selalu menjadi sasaran kemarahan Jordan.
Setiap bulannya Revano akan menerima sebuah pukulan dari Jordan. Hari itu bertepatan pada hari ulang tahunnya, dimana seharusnya ia akan menerima hadiah namun ia harus menerima hukuman.
Hukuman karena sudah hadir di dunia ini.
“Kakak belajar apa?” tanya Revano, yang kini sudah berusia lima tahun dan Rina sudah menginjak usia delapan tahun.
“Belajar matematika,” jawab Rina, dengan mata yang masih fokus dengan tugas sekolahnya.
Revano mengangguk polos. “Kenapa kakak belajar?” pertanyaan polos itu kembali dilontarkan oleh Revano.
Rina hanya bisa menghela napas saat adik kecilnya itu sedang dalam mode penasaran.
“Biar kakak bisa kaya terus beli kue ulang tahun buat kamu.” Rina tau bahwa Revano tiddak pernah mendapatkan kue ulang tahu saat Revano ulang tahun, berbeda dengan dirinya.
Bahkan Rina tau Revano sering mendapatkan perlakukan kasar dari Jordan.
Revano yang kini sudah berusia tujuh tahun, sedang menghabiskan waktunya di rumah. Hari ini adalah hari ulang tahunnya ke tujuh, seperti biasa disetiap hari ulang tahunnya maka ia akan duduk diam di rumah, dan menunggu kepulangan Jordan ke rumah.
Untuk menghukumnya tentu saja bukan untuk merayakannya.
Kalau ditanya bagaimana dengan Rina? maka jawabannya Rosa hanya bisa diam, karena jika Rosa melawan, nyawa Revano terancam.
“Hei.” Suara Rina membuat Revano segera menoleh mencari asal suara itu.
Pasalnaya Rina baru saja berangkat sekolah dan tak mungkin berada di sana.
“Kakak!” seru Revano saat Rina berada diambang pintu kamarnya. “Kakak gak sekolah?”
Rina tersenyum lalu ia melangkah masuk ke kamar sang adik. Setibanya ia di sana, Rina mendudukkan tubuhnya di kasur Revano.
“Ayo kita beli kue, sebelum Papa pulang,” ajak Rina, seraya menarik tangan Revano.
Revano hanya diam, bahkan ia menahan tubuhnya agar tidak tertarik.
“Ayo, Reno ... Kakak punya uang, kok, uang jajan kakak kumpulin.” Rina kembali menarik tangan Revano. “Keburu Papa pulang, loh.”
“Jangan, kak. Nanti kakak dimarahin Papa,” balas Revano khawatir.
Walaupun Rina tidak akan dimarahin, namun ia tetap takut kejadian satu tahun yang lalu keulang kembali.
Rina ketahuan membeli kue ulang tahun diam-diam untuk sang adik, namun hari itu ketahuan. Jordan sangat marah, ia melampiaskan kemarahannya itu kepada Revano di hari ulang tahunnya.
“No! Trust me,” ucapnya dengan yakin.
Setelah berpikir sejenak, akhirnya Revano menyetujui ajakan Rina, keduanya keluar secara diam-diam dari rumah agar tidak ketahuan oleh Rosa dan beberapa pekerja yang ada di sana.
Mau tidak mauu mereka harus memilih jalan keluar dari belakang, karena jika mereka keluar dari depan sama saja seperti masuk ke kandang harimau. Di sana ada beberapa satpam yang mungkin saja akan mengadu kepada Jordan.
Kini kakak beradik itu sudah berhasil keluar, dan sedang menelusuri jalanan sempit menuju jalanan besar yang tidak jauh dari sana. Namun mereka melupakan satu hal.
“Kak ...” Revano mendadak ketakutan saat melihat seorang pria bertatto berada tidak jauh dari mereka.
Rina juka takut namun ia berusaha untuk tetap tenang.
“Gapapa, kakak di sini.” Rina menggengga, erat tangan Revano.
Keduanya kembali melangkah dengan tenang, namun sedikit buru-buru saat meleati pria bertatto itu.
“Kak ...” Revano kembali berbisik saat menyadari pria itu mengikuti mereka.
Rina tidak bisa tenang, ia juga ikut ketakutan. “Dalam hitungan ketiga lari, ya,” ucapnya.
Revano mengagguk.
“Satu ... Dua ... Tiga ...”
Dalam hitungan ketiga mereka berlari, tangan Rina setia menggenggam tangan Revano.
Saat Rina menoleh ke belakang pria itu juga ikut lari mengejar mereka. Rina kembali menoleh ke depan, ia sedikit lega saat melihat jalan raya sudah dekat.
“Lari yang kuat, dek,” ujar Rina menyemangati Revano.
Dengan sekuat tenaga Revano dan Rina berlari menjauh dari pria bertatto itu, sampai mereka kini tiba di jalan raya yang sudah ramai akan kendaraan.
Namun sialnya mereka tidak menyadari ada mobil yang melaju dengan kencang menuju ke arah mereka. Saat Rina menoleh ke kiri mobil itu sudah dekat, ia melotot dan refleks mendoromg tubuh Revano ke belakang.
“Kakak!”
Brak!
Sialnya Rina tidak bisa menyelamati diri sendiri, ia tertabrak oleh mobil itu sampai terpental ke belakang mobil.
“Kakak!” teriak Revano, ia berlari menghampiri Rina.
Revano berlutut di samping Rina, ia tidak tau harus bagaimana, ia hanya bisa menahan agar darah yang keluar dari kepala Rina berhenti.
“Kakak ... Kakak jangan merem, ya?”
“Tolong! Tolong kakak saya.”
Revano kembali menoleh untuk menatap Rina. Rina tersenyum saat netra matanya bertemu dengan netra mata Revano.
Rina berusaha mengangkat bibirnya untuk berbicara.
“Se ... Lamat ... U ... Lang ... Tahun,” lirih Rina terbata-bata. Ia sebisa mungkin untuk tetap terjaga walaupun rasa sakit menghantamnnya.
Revano tak kuasa menahan tangisnya. “Tolongin kakak,” pinta Revano kepada orang-orang yamg sudah mengerumuni mereka.
“Kakak sebentar, ya? Kakak jangan tidur, kakak harus kuat, ya?”
Dengan susah payah Rina mengangguk walaupun hanya anggukan kecil. Ia tetap berusaha untuk terjaga, ia tidak boeh kehilangan kesadaran apalagi nyawa. Ia tidak mau meninggalkan Revano sendirian di sini.
Di sini Revano sekarang, di ambang pintu ruangan rumah sakit. Revano hanya bisa melihat dari jauh, Jordan dan Rosa yang sedang menangis di depan mayat Rina.
Rina tidak bisa diselamatkan, Rina menghembuskan napas terakhirnya dipangkuan Revano.
Revano tidak tau, Revano tidak paham dengan apa yang sedang ia hadapin sekarang.
Yang ia lakukan hanya menangis sampai Jordan keluar dan menghampiri Revano. Lalu dengan sekuat tenaga menampar Revano sampai tubuh kecil Revano terjatuh dan membentur lantai rumah sakit.