114 [Paus]

Sudah satu Minggu Milla di rumah sakit. Namun masih belum ada kemajuan, dia masih diam seperti hari-hari sebelumnya.

Namun Jovas tidak bosan menemani gadis itu, dan terus membantu gadis itu.

“Kamu lagi ngapain?”

Itu bukan suara Jovas, itu suara Milla. Kalimat pertama yang dia lontarkan setelah satu Minggu.

Jovas yang sedang sibuk dengan bukunya, terkejut saat suara lembut itu menusuk telinganya.

“Hai?” Jovas tidak dapat menahan senyumnya ketika sapaan Milla terdengar.

Dia pun menghentikan kegiatannya sementara.

“Kamu lagi ngapain?” Tanya Milla, sedikit melirik ke arah sebuah buku yang ada di tangan Jovas.

Jovas menunjukkan apa yang baru saja dia kerjakan. Dia baru saja menyelesaikan gambar paus di sana.

“Ikan paus.”

“Paus,” koreksi Jovas.

“Bedanya?”

Jovas kembali tersenyum lalu meletakkan buku dan pena di meja yang ada di samping tempat tidur Milla.

“Paus itu spesies mamalia, bukan ikan,” jawab Jovas sembari menatap Milla.

Milla hanya mengangguk tidak lagi menanggapinya.

“Oh, ya. Ada fakta unik mengenai paus, kamu tau?”

Milla menggeleng.

“Paus itu sama kayak lumba-lumba mereka napas melalui paru-paru, kamu tau, 'kan?”

Milla mengangguk.

“Nah, makanya mereka tidak disebut 'ikan'. Tapi cuman Paus atau lumba-lumba, bukan ikan paus, ikan lumba-lumba.”

Milla yang awalnya sedikit bosan dengan pembahasan Jovas, kini sedikit tertarik. Terlebih suara Jovas begitu lembut dan halus ketika sedang menjelaskan.

“Kalo mereka bernapas pake paru-paru berarti bisa hidup di darat dong?” Tanya Milla.

Jovas tertawa, bukan karena pertanyaannya melainkan ekspresi yang Milla tunjukkan. Terlebih dia senang karena Milla akhirnya mau berbicara.

“Nah! Itu yang menarik, Mill. Aku pernah baca kalau, paus itu adalah mamalia darat prasejarah, dan terus berevolusi sampai sekarang.”

Milla membulatkan bibirnya menjadi bentu 'o' seakan paham dengan yang Jovas jelaskan. Padahal sama sekali tidak, Milla hanya fokus dengan suara Jovas, bukan dengan topik yang disampaikan.

“Kamu dengerin aku, 'kan?” Tanya Jovas, memastikan Milla mendengarkannya, kalau tidak sia-sia saja dia menjelaskan.

Tapi tidak apa-apa kalau itu Milla.

“Dengerin kok. Cuman ya topiknya ngebosenin.”

Sudah Jovas duga. Jovas pun tertawa mendengarnya.

“Eh, Jo. Terus kenapa deh, paus bisa hidup di laut, sedangkan mereka bisa aja, 'kan, hidup di daratan. Kan pake paru-paru.

“Karena tubuh mereka yang besar, itu bisa jadi ancaman. Terus suhu udara di pantai juga jadi ancaman.”

“Maka dari itu mereka milih hidup di air, ya.”

“Juga kebiasaan.”

Milla mengernyitkan dahinya, tidak paham dengan jawaban Jovas. Saat dia hendak bertanya lagi, dokter masuk ke ruangannya, membuatnya harus menunda terlebih dahulu.


Di ruang interogasi, Rifan masih sama bungkamnya. Sudah segala macam usaha dilakukan oleh Robert maupun petugas lainnya. Tapi tetap saja pria itu bungkam.

Robert kembali masuk ke dalam ruangan itu, kemudian menarik kursi yang ada di hadapan Rifan, dan kembali duduk di sana.

Robert mengeluarkan sebuah map yang ada di tangannya, meletakkannya di atas meja. Lalu, Robert membuka map itu.

Map berisi beberapa foto. Foto korban-korban terduga pembunuhan dari tujuh tahun yang lalu.

“Ini korban kamu juga, 'kan?” Tanya Robert menunjukkan satu persatu foto korban.

Tadinya Rifan tidak tertarik, mendengar kata 'korban' Rifan pun menarik kepalanya untuk menatap ke atas meja.

“Bukan!” Tegasnya.

Robert mengangguk. Kemudian dia memajukan satu foto, foto Orang tua Milla.

“Mereka?”

Rifan kembali bungkam. Robert sudah menduga hal ini akan terjadi. Tapi bukankah seorang detektif sudah terlatih?

“Tidak ada siapa-siapa di sini, tidak ada yang mendengar kecuali saya. So, kamu boleh jujur atas semua kelakuan kamu.”

Robert mengetuk-ngetuk foto kedua orang tua Milla.

“Kamu yang bunuh mereka?”

“Pelakunya sudah tertangkap! Ngapain lo tuduh gue!”

Robert menghela napas kasar. Memang pelaku pembunuh kedua orang tua Milla sudah tertangkap, tapi Robert masih tidak yakin. Maka dari itu secara diam-diam dia mencari tahu

“Gue pernah coba bunuh mereka ...”

Pengakuan yang membuat Robert terkejut bukan main! Robert pun mulai serius mendengarkan pengakuan Rifan.

“Tapi gue telat,” katanya.

Rifan tidak berbohong. Itu benar adanya.

“Waktu gue mau masuk ke dalam ruangan orang tuanya, gue terlambat.”

“Kenapa lo mau bunuh mereka?”

“Karena gue dendam! Lo tau? Bokap Milla hutang banyak ke bokap gue. Tapi apa? Bokap Milla malah bunuh bokap gue tanpa satu orang pun tau, dan percaya sama gue!” Rifan menaikkan kedua tangan yang sudah terikat dengan borgol, meletakkannya di atas meja.

Pria itu sedikit mengangkat tubuhnya mendekati Robert.

“Mata dibayar dengan mata,” bisiknya tidak lupa seringai terbentu di bibirnya itu. “Hidung dibayar dengan hidung. Lantas nyawa dibayar dengan nyawa!”

Setelah mengatakan itu, Rifan kembali duduk. Raut wajah yang tadinya memelas, kini kembali mendapatkan semangat.

“Sayangnya gue telat ... Makanya gue serang anaknya, tapi gue gagal ... Tapi gue gak akan berhenti, lo tau gue siapa, 'kan?” Katanya, terdengar nada angkuh di sana.

Perkataan Rifan berhasil memancing emosi Robert, pasalnya pria itu menyinggung Milla.

Dengan tiba-tiba Robert menyerang dengan menarik kerah baju Rifan.

“Ouch, santai bro ...”

“Siapa yang bunuh orang tua Milla?” Tanya Robert geram, ingin sekali Robert memukul wajah Rifan yang terlihat begitu angkuh.

“Paus.”

Rifan terkekeh.

Robert menatapnya keheranan.

“Yang jelas kalo ngomong!” Robert semakin kuat mencengkram kerah baju Rifan.

“Pembunuh.”