131

Milla mencari-cari keberadaan sesuatu yang bisa dia jadikan senjata. Karena Milla mendengar pergerakan mencurigakan dari luar ruangannya.

Milla sebisa mungkin untuk tidak panik, walaupun dia begitu takut sekarang. Untung saja kondisinya sudah mulai membaik, Milla jadi bisa bergerak sedikit walaupun tidak terlalu leluasa.

Karena tidak bisa turun dari tempat tidur, Milla hanya bisa mengambil vas bunga kecil yang ada di meja di sampingnya. Setidaknya dengan vas bunga kaca itu Milla bisa mengamankan dirinya atau hanya sekedar memberi kode.

Genggaman Milla pada vas bunga itu semakin erat, dia mendengar langkah kaki dari luar. Karena tak sanggup menahan rasa takutnya, Milla pun memejamkan mata sampai suara langkah kaki itu menghilang.

Lebih tepatnya bukan menghilang, tapi berubah menjadi suara pintu yang terbuka, dan langkah kaki itu kembali terdengar. Hanya doa yang bisa Milla percayakan sekarang. Dia pasrah apapun yang akan terjadi kepadanya.

Sampai satu tangan besar menyentuh pundak Milla.

“Tuhan, Milla memang bukan anak baik, tapi setelah ini Milla janji akan jadi anak baik.” Milla bergumam kecil.

“Kenapa?”

Huh! Milla segera menoleh ke arah suara, tangannya yang memegang vas pun segera dia angkat.

“Hei! It's me, Jovas.”

Ya. Itu Jovas. Dia sedang memegang tangan Milla sekarang. Perlahan Jovas meraih vas bunga yang ada di tangan Milla, kemudian dia letakkan kembali di atas meja. Jovas pun duduk di samping Milla menarik tubuh Milla ke dalam pelukannya karena Milla kembali menangis.

“I'm sorry. Aku nggak tahu kalau kamu bakalan terkejut seperti ini.”

“I think ... Lo orang jahat yang bakalan ngebunuh gue. Sama kayak Ibu sama Bapak dulu, Jo.”

Tangisan Milla semakin pecah, bahkan tubuhnya naik turun menandakan dia benar-benar sedang ketakutan sekarang.

“I'm so sorry, Milla,” kata Jovas penuh penyesalan. Jovas melonggarkan pelukannya, kemudian menangkup pipi Milla dengan lembut. “It's me, bukan orang jahat. Aku teman kamu, Jovas.”

Milla mengangguk kemudian memejamkan matanya berusaha untuk menghentikan air mata yang tak kunjung berhenti mengalir.

“Kata dokter kamu udah bisa pulang besok, 'kan?” Tanya Jovas saat Milla sudah sedikit tenang. Tapi Jovas masih saja duduk di samping Milla.

“Maunya, tapi gue takut, Jo.”

“Takut kenapa?”

Milla menoleh ke kiri menatap Jovas yang ada di sampingnya—yang sedang menatapnya juga.

“Gue takut banyak orang jahat di luar sana,” kata Milla lirih, dia kembali menunduk setelah mengatakan itu.

Jovas tersenyum simpul. Dia paham, dan wajar saja kalau Milla masih saja takut, trauma yang dia alami masih saja membekas pastinya.

“Dulu gue cuman denger cerita dari Robert, terus lihat berita di televisi. Perempuan bunuh diri yang ternyata dibunuh. Dan kemarin itu kejadian sama gue, Jo. Gue takut.”

“But, i'm here, Milla. That's why aku jadi teman kamu. Karena dunia tahu kamu bakalan kejadian seperti ini.”

Jovas meraih tangan kiri Milla, dia bawa untuk dia genggam dengan erat dan penuh kelembutan. Genggaman itu berhasil menyihir Milla untuk mengangkat kepalanya dan memandang Jovas yang sedang tersenyum kepadanya.

“Aku memang nggak sepintar Robert, atau se-ahli Robert. Tapi, aku pintar dalam menggunakan pisau,” ucap Jovas, tersirat kebanggaan di sana.

Milla terkekeh mendengarnya.

“Walaupun cuman untuk motong kepala ayam,” sambung Jovas.

Milla tertawa. Untuk pertama kali setelah kejadian itu dia merasa tenang dan bisa tertawa, dan itu semua karena Jovas—yang kini sedang tertawa juga.

“Thank you,” ujar Milla. Milla mengulum bibir bawahnya kemudian dia menunduk untuk melihat tangannya yang masih digenggam oleh Jovas.

Namun ada hal lain menarik perhatian Milla hingga dahinya pun ikut berkerut karena itu.

“Tangan kamu luka, why?” Tanya Milla sembari menatap Jovas lagi.

Jovas mengangguk kemudian melihat tangannya yang luka. sebenarnya bukan luka besar, jadi Jovas tidak berniat untuk menutupnya, siapa sangka kalau Milla akan sadar dengan hal kecil seperti itu.

“Tadi kena pisau waktu aku lagi simpan pisau di lemari aku,” jawab Jovas kemudian tersenyum. “Don't worry.”

“Pisaunya ... Nggak apa-apa, 'kan?”