136

“Kenapa diem aja?” tanya Revano memecahkan keheningan yang mengantarkan mereka hingga sampai di parkiran sekolah.

“Gak tau mau ngomong apa,” jawab Maudy jujur.

Maudy sedari tadi memang hanya diam, biasanya ia akan bawel. Karena begitu banyak hal yang menghantui pikirannya, membuat Maudy hanya diam sepanjang jalan.

Selain itu Maudy juga takut, takut dengan Revano yang tiba-tiba berubah dan takut kalau Misel melihat mereka berduaan nantinya.

“Aku anter ke kelas, ya? ” tawar Revano ketika mereka sudah turun dari mobil.

Dengan cepat Maudy menggeleng untuk menolak. Bisa-bisa ia habis di tangan Misel kalo gadis itu melihat Maudy dengan Revano.

“Gak usah, aku bisa sendiri.”

Untung saja Revano langsung menyetujui dan tidak mengikuti Maudy yang sudah jalan duluan di depannya.

Revano tersenyum saat melihat gadis di depannya berjalan begitu cepat, seperti sedang menghindari sesuatu.

“Woi.”

Revano tersentak saat tiba-tiba ada tangan merangkul dan diiringi dengan teriakan.

“Apa, Dan,” sahur Revano saat menyadari pelakunya adalah Zaidan.

“Lo baikan sama Maudy?”

“Gak pernah marahan.”

“Asik jadi nasi keinjek lagi, nih. “


“Lo baikan sama Reno, kan?” Maudy dikejutkan dengan suara Misel, yang tiba-tiba saja berada di belakangnya.

Dengan hati-hati Maudy membalikkan tubuhnya menoleh menatap Maudy.

Maudy tertegun saat melihat ekspresi wajah Misel yang sangat tidak bersahabat.

“Eh, gue tadi beli breakfast di McD. Makan, yuk?” Maudy merangkul tangan Misel, berusaha agar sahabatnya itu tidak marah.

Namun bukan seperti yang Maudy harapkan, Misel malah menarik tangannya secara kasar, lalu melipat di depan dadanya.

“Mau kasih alasan apa lagi sekarang?” tanya misel, dengan tatapan yang mengintimidasi.

Maudy menggenggam tali tas ransel yang ia kenakan dengan erat.

“Lo mau bilang kalo, 'dia itu luka sekaligus obat buat gue.' enggak bodoh!” Misel memekik marah.

Akibat kemarahan Misel, atensi para murid yang sedang ada di Koridor lantai dua kini tertuju ke dirinya dan Maudy yang hanya diam.

“Lo gak pernah diobati sama dia! Lo yang ngobatin dia susah payah, tapi lo juga yang disakiti! Lo sadar, kan?” serang Misel masih dengan suara lantangnya.

Maudy sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan, melihat murid lain yang kini berbisik kecil.

“Jawab gue, Maudy Alaska!”

“Dia butuh gue,” jawab Maudy, namun dengan suara yang begitu kecil hampir tak terdengar.

Namun masih bisa didengar oleh Misel. Mendengar jawaban Maudy, Misel menyunggingkan senyum tipis.

“Dia gak butuh lo, tapi lo dimanfaatin dia! Minta gaji bodoh!”

Bertepatan dengan kalimat yang baru saja Misel lontarkan. Revano dan ketiga sahabatnya tiba di lantai dua.

Tentu mereka terkejut dengan perdebatan yang kini menjadi tontonan gratis.

“Misel,” seru Moreo, segera Moreo menghampiri Misel untuk menenangkan kekasihnya itu.

“Udah jangan gini.”

Misel menoleh menatap Moreo. “Dia bodoh! Kok mau-maunya balikan sama cowo brengsek kayak Revano?”

“Udah ya, yuk, aku anter ke kelas.”

Untung saja Misel tidak menolak ajakan dari Moreo, walaupun masih banyak yang ini ia lontarkan kepada Maudy.

Maudy menatap kepergian Misel dan Moreo. Setidaknya ia bisa bernapas lega untuk sementara, walaupun kini semua mata tertuju kepadanya.

“Ody...” suara Revano memanggil Maudy, membuat Maudy segera beranjak dari sana.