185
“Kenapa lo?” tanya Nabil keheranan dengan tingkah Luna.
Luna sedang mengomel di depan telepon genggamnya, setelah mendapatkan pesan dari Jupiter.
Mendengar pertanyaan dari Nabil, Luna berhenti ngomel, lalu ia menoleh ke Nabil.
“Nih,” ucapnya seraya memperlihatkan isi pesan masuk dari Jupiter.
Nabil membaca dengan seksama pesan tersebut, ia sama sekali tidak takut, karena kenyataannya ia dan Luna tidak tunangan sama sekali.
“Udah sih Lun, lagian bagus begitu dia masuk perangkap kan,” balas Nabil tenang.
“Tapi gue kesel Bil!”
“Ck,” decak Nabil.
Tring Tring Tring
Notifikasi pesan masuk dari telepon mereka berbunyi bersahutan secara terus menerus. Luna dan Nabil sedikit kebingungan.
Keduanya kini tengah fokus dengan teleponnya masing-masing, membaca pesan masuk yang tak kunjung berhenti.
“Makrab,” gumam Luna.
Nabil menoleh setelah mendengar gumaman Luna. “Lo mau ikut?” tanya Nabil seraya meletakkan teleponnya kembali di atas meja di depannya.
Luna menggeleng, walaupun ia sangat tertarik dengan acara tersebut, namun melihat kondisinya yang lumpuh mana mungkin ia dapat ikut ke acara itu.
“Gak lah gila lo lihat bahkan buat berdiri aja gue gak bisa,” jawab Luna pasrah.
“Temen-temen lo ikut?” Nabil bertanyalah lagi dan disahut anggukan kepala sebagai jawaban dari Luna.
“Oh—” ujarnya seraya bangkit dari sofa yang ia duduki.
Luna mendadak menjadi bingung, matanya tertuju pada langkah Nabil yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.
Nabil mengulurkan tangannya, namun tidak langsung diterima oleh Luna.
“Kita coba lagi,” ucapnya.
Selama Nabil bersama Luna, ia benar-benar bertanggung jawab atas apa yang telah ia lakukan kepada Luna. Ia terus membantu Luna berlatih, dimulai dari berlatih berdiri. Walaupun hasilnya nihil, kaki Luna belum kuat untuk melakukan hal itu.
Hari ini untuk kesekian kalinya Nabil melakukan hal itu, ia sangat berharap Luna dapat berdiri secepat mungkin.
“Tadi kan udah,” kata Luna masih belum menerima uluran tangan Nabil.
“Gagal kan? Ya, coba lagi.”
Luna menghela nafas dan mengangguk pasrah. Ia meletakkan kedua tangannya di atas kedua telapak tangan Nabil.
Nabil tersenyum, dengan cepat ia menggenggam tangan Luna, dan menyalurkan tenaga agar Luna dapat berdiri.
“Lo coba dulu sendiri.”
Luna mengangguk. Karena kakinya sudah menyentuh lantai, jadi ia hanya perlu untuk mengerahkan seluruh tenaganya agar dapat berdiri.
“Argh,” erang Luna, percobaan pertama gagal.
Ia mencoba lagi, lagi dan lagi, namun ia tetap gagal. Luna mendongak menatap Nabil, dengan tatapan menyerah ia menggeleng-gelengkan kepalanya.
Seakan paham maksud Luna, Nabil mengangguk. “Gue bantu lo tahan ya?”
“Iya.”
Perlahan Nabil menarik tangan Luna sampai tubuh Luna terangkat dari kursi roda.
Nabil terus menarik tubuh Luna sampai posisi Luna menjadi setengah berdiri.
“Luna, bun— owww maaf.”
Mendengar suara Ririn membuat fokus Nabil hilang, tubuh Luna terhuyung mau tak mau Luna harus menjatuhkan tubuhnya ke tubuh Nabil. Kini posisi mereka seperti pasangan yang sedang berpelukan, hanya saja Nabil sama sekali tidak menautkan tangannya di tubuh Luna.
“Bunda ihhhh,” lirih Luna. “Nabil ini gimana.”
Nabil masih mematung, ia tertegun tiba-tiba saja suasana menjadi terasa canggung.
“Maaf atuh bunda gak tau anak bunda lagi pacaran,” ucap Ririn dengan senyuman jahilnya.
Nabil hanya tersenyum malu mendengar ucapan Ririn, berbeda dengan Luna yang sedang mencak-mencak dan mengomel, namun ia tidak dapat bergerak banyak, karena hal itu akan menjadi ancaman dirinya terjatuh.
“BUNDA KITA GAK PACARAN!” teriak Luna sedikit membuat Nabil terkejut.
“Iya bunda tau, maaf ya bunda ganggu kalian pacaran. Nabil tolong bawa anak gadis bunda ke kamar ya, udah malam, tapi jangan diapa-apain,” titah Ririn seraya tertawa lalu ia meninggalkan keduanya kembali ke dapur.
“Iya bunda,” jawab Nabil.
“No! Jangan berani lo bawa gue ke kamar,” tolak Luna tegas.
Masih dengan posisi yang sama, Nabil menjawab, “Lah, kenapa? Bukannya udah biasa kan?”
Luna mendecak kesal. “Gak mau tau cepet turunin gue ke kursi roda sekarang!”
“Galak banget ibu tiri jelek,” ejek Nabil.
Tiba-tiba saja pikiran untuk menjahili Luna terlintas di otak Nabil. Tanpa memberi aba-aba, Nabil mengangkat tubuh Luna ke atas pundaknya, menggendong Luna seperti karung beras.
“Arghh!” pekik Luna kaget. “Kok? Kok gini!”
“Ya terus mau gimana?” Nabil memutar tubuhnya, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar Luna yang tak jauh dari ruang tamu dimana mereka berada.
“Nabil!” Luna terus menggoyangkan tubuhnya, tangannya ia gunakan untuk memukul-mukul punggung Nabil.
Namun Nabil hanya tertawa dan tidak peduli dengan ocehan dari Luna. Tangan kanannya ia gunakan untuk membuka kenop pintu kamar Luna, ia melangkahkan kakinya dan berhenti tepat di samping kasur Luna.
Perlahan ia menurunkan tubuh Luna, tak lupa ia menarik kaki Luna, kini posisi Luna menjadi tertidur di atas kasur.
“Lo gila atau gimana Nabil?” Ucap Luna penuh penekanan. “Kek asu,” cibirnya.
Lagi-lagi Nabil hanya tertawa kecil, ia menarik selimut Luna dan menutupi tubuh Luna dengan selimut itu.
“Selamat tidur jelek, galak.” “Nanti tugasnya gue kasih besok ya, sekarang lo tidur aja.”
“Bodo amat,” sinis Luna seraya memicingkan matanya.
“Butuh kecupan—”
“BUNDA!!!”
“IYA ENGGAK!”