24

Isak tangis Milla tak ada hentinya, bahkan saat semua orang telah pergi dari sana. Gadis itu masih menangis di depan makam orang tuanya.

Lagi dan lagi Milla kehilangan, ini sudah ketiga kalinya. Kehilangan Ayah kandung yang pergi entah kemana. Kehilangan Ibu kandung yang meninggal karena serangan jantung. Dan sekarang kehilangan kedua orang tua tiri, yang sudah ia anggap seperti orang tua kandung, diduga karena pembunuhan.

Milla tidak mau lagi mengingat bagaimana terkejutnya ia saat kembali masuk ke ruangan orang tuanya, selepas kembali untuk membeli makanan ringan.

Ia melihat kaca yang sudah pecah, dan keadaan ruangan yang sudah berantakan.

Ruangan kedua orang tuanya itu berada di lantai dasar, maka siapapun yang lari dari jendela itu, akan sangat mudah pergi tanpa perlu takut tertangkap.

“Udah, ya? Kasihan Ibu sama Bapak kalo kamu nangis terus,” ucap Robert, yang sedari tadi setia menemaninya.

Bukannya merasa tenang dengan ucapan Robert, Milla semakin histeris.

“Gue sayang banget sama mereka, Rob. Gue ngerasa gagal, lo bayangin awalnya mereka diracun sampe masuk rumah sakit, sekarang mereka meninggal karena dibunuh. Sakit banget hati gue, Rob,” kata Milla, masih dengan isakannya.

Robert tidak lagi berbicara, karena ia tau itu hanya membuat gadis yang ada di sampingnya semakin terluka. Ia memilih untuk membawa Milla kedekapannya.

“Gue bakalan tangkap pelakunya. Gue pastiin dia dapat hukuman yang setimpal.”

Milla menggeleng. “Jangan bawa kasus ini ke kepolisian,” tolak Milla. “Gue gak nuntut, gue mau kalian gak usah nyari pelakunya.”

Robert kebingungan karena Milla mengatakan hal tersebut. Ia melonggarkan dekapannya, agar bisa menatap wajah Milla.

“Kenapa?”

“Gue mau Ibu sama Bapak tenang di sana, Ibu sama Bapak juga bukan pendendam. Biar Tuhan yang balas semuanya, Rob.”

No.” Robert menggeleng. Mau bagaimanapun kasus pembunuhan seperti ini harus diusut sampai selesai.

Please. Gue gak mau Ibu sama Bapak susah di sana, biarin mereka istirahat dengan tenang.”

Milla menatap Robert dengan tatapan penuh harap.

“Malah kalo pelakunya gak tertangkap, mereka gak tenang, Milla.”

Milla menggeleng, ia masih kekeh dengan pendiriannya. Ia tidak mau kasus ini kemana-mana, terlebih jika ia harus berurusan dengan kepolisian.

“Mill...”

Leave me alone, please?” pinta Milla, ia sedikit pusing karena masalah ini.

Butuh waktu dan tempat agar dia bisa berpikir dengan jernih.

Robert hendak membantah, tidak mungkin ia meninggalkan Milla sendirian saat seperti ini.

Namun belum sempat ia berbicara, sebuah panggilan masuk membuat atensinya beralih ke situ.

Sebuah panggilan dari Wisnu. Ia yakin rekannya itu sudah ada di dekat sini.

“Gue kasih waktu buat lo berpikir, pikir yang terbaik. Tapi jangan pernah ngelakuin hal aneh, karena gue ada di sini, okey?”

Hanya anggukan yang bisa Milla berikan sebagai respon. Bahkan ia tidak mau menoleh ke arah Robert. Ia hanya mau menatap dua kuburan orang tuanya yang masih basah itu.


“Gimana?” tanya Wisnu, ketika Robert tiba di hadapannya.

“Apanya?” Robert mengerutkan kening kebingungan.

“Si Milla.”

“Dia masih di sana, masih butuh waktu sendiri.”

Wisnu mengangguk paham. Lalu ia mengeluarkan handphone dari saku celananya.

“Oh, ya. Inget cctv di rumah sakit? Udah dapet, dan pelakunya tertangkap di cctv. Kasus orang tua Milla, seratus persen kasus pembunuhan.”