27

“Kehilangan seseorang memang sesakit itu.”

Milla tersentak saat mendengar suara berat dari belakangnya.

Ia sudah tidak lagi di samping pusara orang tuanya. Tapi ia masih di dekat sana. Di taman di dekat perkuburan.

Saat mendengar suara berat itu, Milla menoleh ke belakang, menemukan sosok Pria muda berbadan kekar dengan wajah yang begitu tampan.

Lalu Pria itu berpindah dan duduk di samping Milla.

“Aku turut berduka cita, ya?”

Milla mengerutkan keningnya. Pasalnya ia tidak mengenali siapa Pria yang ada di sampingnya itu.

“Aku Jovas.” Pria yang bernama Jovas itu mengulurkan tangannya, mengajak Milla untuk berkenalan.

Dengan enggan Milla menerimanya. “Milla,” jawab Milla.

Jovas tersenyum, lalu melepaskan uluran tangannya.

“Aneh memang aku tiba-tiba nyampein kamu. Tapi aku pernah ada di posisi kamu, jadi aku mau kamu jangan sedih lagi.”

Hanya senyum tipis yang bisa Milla berikan. Karena ia masih bingung dengan keadaan sekarang.

“Kamu lihat rumah kosong di seberang sana?” Jovas menunjuk ke arah rumah kosong yang ia maksud.

Mata Milla mengikuti arah tangan Jovas. Ia melihat rumah kosong yang Jovas maksud.

“Lihat.”

“Ke sana mau?” ajak Jovas.

Milla sedikit merinding dan ketakutan. Hatinya berkata jangan, namun entah kenapa mulutnya berkata, “Mau.”


Wah! Milla tidak menyangka rumah kosong yang begitu menyeramkan ketika dilihat dari luar, namun begitu cantik jika dilihat langsung dari dalam.

Yang tadinya ia menangis, kini matanya berbinar kagum menatap ke setiap sudut rumah itu.

“Kata orang-orang arwah yang sudah pergi biasanya ke sini dulu,” ucap Jovas, walaupun sedikit tidak yakin dengan ucapannya.

Milla tertawa kecil mendengar ucapan konyol Jovas barusan.

“Lo percaya?”

Jovas menggeleng. “Tidak. Aku lebih percaya ini tempat foto yang bagus.”

Kalo yang satu itu, Milla percaya. Jika berfoto di sini pasti akan sangat bagus hasilnya.

Kalau ucapan konyol Jovas sebelumnya itu sangat sulit dipercaya dengan akal sehat.

“Eh, lo kenapa tau gue lagi berduka?” tanya Milla, yang kini kewarasannya sudah kembali seratus persen.

“Duduk di taman dekat pusara, dengan tatapan kosong, mata sembab. Apa ada orang yang mengira kamu sedang ulang tahun?”

Okey, sepertinya Jovas sedang bercanda. Namun ia mengatakannya dengan raut wajah yang begitu datar.

Tentu ucapan dan raut wajah Jovas mengundang tawa Milla.

“Iya juga, sih. lucu juga, ya, lo.”

“Terima kasih pujiannya, ya.”

Setelah itu, keadaan kembali hening. Mereka hanya bisa menatap setiap sudut tanpa mengucap satu katapun.

“Hm,” gumam Jovas. “Boleh fotoin aku nggak?” tanya Jovas, mukanya memerah malu saat mengatakan itu.

“Boleh, kok. Mana handphonenya?”

“Habis baterai, boleh pake handphone kamu?”

Tanpa ragu Milla mengangguk. Lalu menyuruh Jovas untuk berpose sebagus mungkin.

Milla tidak menyangka Pria itu tidak kaku di depan kamera, bahkan ia dibuat takjub dengan hasilnya.

“Keren lo! Ini hasilnya mau gue kirim kemana?” tanya Milla.

“Aku minta Instagram kamu aja, nanti aku chat boleh, kan?”

Milla sedikit menaruh curiga, namun ia tetap memberi nama akun instagramnya kepada Jovas.

“Aku sudah catat, terima kasih, ya.”

Milla mengangguk.

“Eh, Jo,” panggil Milla.

“Iya?”

“Terima kasih, ya. Lo bikin gue sedikit tenang.”

Jovas tersenyum lega mendengarnya. “Syukurlah.”