32,
“Lo suka sama gue?” tanyaku ketika Rayna sudah berada di kamarku. Dia masuk melalui jendela kamarku tentu saja. Padahal bisa saja dia masuk dari pintu, apalagi Papa dan Mama belum pulang.
“Kalo di dunia ini tinggal lo sama tikus, gue lebih milih tikus,” jawab Rayna atas pertanyaanku. Sangat mengesalkan, tapi harus diingat dia adalah Rayna.
“Lo biasa habis pulang sekolah ngapain?” tanya Rayna, dia sambil menjelajahi isi kamarku.
Aku menghela napas panjang kemudian mendudukkan tubuhku di atas kasur.
“Main,” jawabku sambil memainkan rubik yang tadinya sempat aku mainkan setelah pulang sekolah.
Memang apalagi yang harus dilakukan oleh anak sekolah seperti, terlebih lagi dahulu. Selepas pulang sekolah aku menghabiskan waktu untuk main, main dan main. Walaupun ujung-ujungnya akan dimarahi oleh Ayah, tapi bukankah itu hal wajar? Hidup sebagai remaja, ya, aku harus menikmati masa-masa itu terlebih dahulu.
“Ok. Sekarang lo belajar, ulang-ulang semua materi yang lo pelajari tadi,” titah Rayna dengan santainya.
Aku terkejut? Tentu saja. Sangking terkejutnya tanganku yang tadinya sedang memainkan rubik, berhenti begitu saja. Aneh, siapa dia menyuruhku dengan enaknya seperti itu.
Aku tertawa kecil. “Tanpa lo suruh, nanti gue juga belajar.”
Rayna merebut rubik yang ada di tanganku. Dia menyelesaikan susunan warna rubik terakhir, kemudian mengantungkan rubik milikku di hoodie kuning yang dia kenakan.
Aku lagi-lagi menghela napas, kemudian mengangkat kepala ku agar dapat menatap wajah Rayna.
“Lo sekarang Azel Khaisan Adhitama. Bukan hanya Azel Khaisan,” tegas Rayna.
Aku mengerutkan kening. Bukankah itu hal yang sama? Aku masih saja Azel, apa bedanya.
Sayangnya aku tidak punya niat untuk menjawab, entah mengapa aku seperti malas menjawabnya. Akhirnya aku hanya menatap Rayna sampai dia bersuara kembali.
“Jangan bilang lo gak ingat apa-apa di sekolah tadi?”
“Bahkan sepuluh nama panti asuhan karangan lo kemarin, gue masih ingat.”
Aku tidak berbohong, segera saja aku menyebutkan sepuluh nama panti asuhan itu. Begini-begini ingatkanku sangat kuat. Jadi masalah pelajaran aku termasuk murid pintar, hanya saja aku terlalu malas.
Rayna tertawa kecil setelah mendengar aku mengucapkan sepuluh nama panti asuhan itu.
“Good. Harusnya lo ingat terus.”
Kerutan di keningku semakin membentuk, bahkan sepertinya dua alisku hampir menyatu.
Tiba-tiba Rayna melemparkan rubik milikku yang sempat dia rebut tadi. Segera aku menangkapnya.
“Kalo lo percaya gue, lakuin apa yang gue bilang. Inget. Lo bukan hanya Azel sekarang, tapi lo Adhitama.”
Setelah mengatakan itu Rayna segera keluar dari kamarku melalu jendela lagi. Aku terheran apakah dia marah? Kenapa dia harus marah? Harusnya aku, kan, yang marah.
Dia hanya orang asing yang tiba-tiba mengatur hidupku, seberani apa dia. Bukan. Sepengecut apa aku kalau tidak membantah dia. Bukannya ini hidupku, lantas kenapa aku harus mengikuti perintah gadis tidak jelas itu?
“Hah ..., mending gue tidur.”