35

Maudy Alaska, gadis yang sedang menatap sendu rintik hujan melalui jendela kamarnya. Ia terus menerus mendengar notifikasi masuk, dan ia yakin itu dari Revano, kekasihnya.

Maudy menghela napas kasar, jujur ia lelah. Bukan lelah menghadapi Revano, namun lelah dengan dirinya sendiri.

Tidak tegas, gampang tidak enakan, gampang nangis, terlalu baik, apalagi kepada orang yang ia sayang.

Tring....

Suara notifikasi yang berubah menjadi suara dering telepon, membuat pertahanan Maudy sedikit goyah.

Namun ia tersadar, ia sudah janji kepada dirinya sendiri untuk menyelesaikan hubungannya dengan Revano secepatnya.

Tringg...

Sudah beberapa menit, suara dering telepon itu masih saja terdengar.

Merasa geram Maudy melangkah menuju meja belajarnya, lalu mengangkat telepon masuk dari Revano, dan kembali meletakkannya di meja.

“Thank you, already picked up my phone,” ucap Revano dari balik telepon.

Tidak ada jawaban dari Maudy.

“I need you, i'm here, di depan rumah kamu.”

Mata Maudy membulat sempurna, segera gadis itu masih handphonenya dan berjalan ke luar, menuju jendela yang dapat memperlihatkan depan rumahnya.

Dan benar saja Maudy melihat Revano di depan pagar rumahnya, namun samar-samar karena hujan.

“They don't let me in,” ujar Revano, suaranya terdengar bergetar.

Maudy sudah tau akan hal itu, ia lah yang menyuruh kepada satpam yang menjaga rumahnya, agar tidak mengizinkan Revano masuk seperti biasanya.

Maudy meremas gorden sedikit kasar.

Hug me, please ....”

Air mata yang sedari tadi ia tahan berhasil lolos. Segera Maudy mematikan sambungan teleponnya, ia berlari untuk mencari keberadaan payung di rumahnya.

Setelah mendapat payung itu, ia segera keluar dari rumah.

Sesampainya Maudy di depan pagar rumah, begitu terkejut dirinya saat melihat Revano yang berdiri tanpa ada pelindung diri dari hujan.

“Pak buka pagarnya!” perintah Maudy, ia sedikit berteriak agar terdengar oleh satpam yang ada di sana.

Setelah pagar terbuka, Maudy melangkah dengan langkah sedikit lebar, menghampiri Revano yang sudah basah kuyup.

“Kamu ngapain?” tanya Maudy dengan suara yang dikeraskan.

Revano tersenyum saat melihat Maudy kini ada di hadapannya.

“Pulang,” jawab

“Rumah kamu bukan di sini.”

“Kamu rumah aku.”

Maudy terdiam mendengar jawaban dari Revano. Ia hanya bisa menghela napas.

“Pak tolong bawain motor Reno ke dalam, ya,” suruh Maudy kepada salah satu satpam di sana.

“Baik, Non.”

Maudy membawa Revano yang basah kuyup ke rumahnya, untung saja Ayah Maudy belum pulang, jadi ia tidak akan kena omelan maut dari Ayahnya.

Sesampainya mereka di dalam, Maudy memanggil ART rumahnya untuk membuatkan segelas susu panas untuk Revano.

“Kamu tunggu di situ.” Saat Maudy hendak pergi, Revano menahan tangan Maudy.

“Jangan ke mana-mana,” ucapnya memohon.

“Aku mau ambil selimut, Ren,” jawab Maudy, mau tak mau ia harus melepaskan tangan Revano.

Untung saja laki-laki itu menurut.

Setelah mengambil sebuah selimut berukuran besar dari kamarnya, Maudy kembali menghampiri Revano yang sedang menggigil kedinginan.

Maudy segera menyelimuti tubuh kekar pacarnya itu.

“Ganti baju, ya? Aku udah siapin baju di kamar tamu,” kata Maudy disahut gelengan oleh Revano.

“Peluk.”

Suara serak, bergetar dan raut wajah yang begitu membuat Maudy kasihan dengan Revano.

“Iya, nanti aku peluk, ganti baju dulu, ya?”

Akhirnya Revano menurut, dan mengikuti langkah Maudy ke kamar tamu.

Maudy kini sedang menunggu Revano yang sedang ganti baju di kamar mandi. Gadis itu duduk di atas kasur kamar tamu, menyenderkan tubuhnya di headboard kasur.

Tiba-tiba Maudy kepikiran, apa yang menimpa Revano hingga laki-laki itu rela menunggu di derasnya hujan.

Saat Maudy sedang bergelut dengan pikirannya, pintu kamar mandi terbuka dan menampakkan Revano di sana.

Maudy tersenyum menyambut laki-laki itu. Namun tiba-tiba ia dibuat terkejut, karena pergerakan Revano yang tiba-tiba merebahkan tubuhnya di kasur dan menjadikan paha Maudy sebagai bantal.

Untuk apa Maudy terkejut karena ini bukan pertama kalinya. Revano akan terus bersikap manja jika ia sedang menghadapi masalah.

Hal itu harus disyukuri, karena sebelum ia mengenal Maudy, Revano memilih untuk menyakiti dirinya sendiri saat ia sedang mendapatkan masalah.

Tangan Maudy tergerak untuk mengusap pelan rambut yang masih basah itu.

“Kenapa?” tanya Maudy pelan dan lembut tak ingin Revano tersinggung.

“Berisik. Kepala aku berisik, rumah berisik.”

Maudy mengangguk paham, ia kembali mengusap rambut Revano.

Usapan demi usapan membuat Revano mengantuk, dan kini ia sudah terlelap di pangkuan Maudy.

Saat Maudy melihat jam yang ada di dinding, ia sedikit terkejut karena waktu sudah menunjukkan pukul satu malam.

Ia yakin pasti Ayahnya sudah pulang.

Perlahan Maudy memperbaiki posisi Revano, tak lupa gadis itu menyelimuti tubuh kekar Revano.

Dengan langkah pelan, Maudy keluar dari kamar tamu, membiarkan Revano istirahat dengan tenang di rumahnya.

Setelah ia keluar, Maudy kembali ragu, apa ia harus izin ke Ayahnya? Atau biarkan saja Revano tidur di rumah tanpa Ayahnya tau.

Maudy yakin Ayahnya tidak akan marah, namun akan mengomel, bukan omelan yang bikin hati Maudy sakit, namun omelan yang bikin Maudy malu.

Pernah sekali saat Ayah pulang lebih cepat, dan mendapatkan Revano yang sedang tidur dipelukan Maudy.

Laki-laki yang dipanggil Ayah oleh Maudy akan mengomel saat Revano pulang.

“Ciee pacarnya tidur sambil dipeluk.”

“Hu hu hu, anak Ayah udah dipeluk orang lain.”

Dan berbagai macam. Sebenarnya lebih ke ejekan, tapi ejekan itu terus menerus diulang sampai keesokan harinya.

“Ah, izin aja, deh.” Maudy melangkah dengan langkah pasti menuju ruang kerja sang Ayah.

Tok tok

Maudy membuka pintu kerja sang Ayah, dan benar saja Ayahnya sedang berada di sana.

“Boleh Ody masuk, Yah?” tanya Maudy meminta izin.

Robert Alaska, Ayah dari Maudy mengangguk. “Sure, come,” balasnya mengizinkan Maudy.

Robert yang tadinya sedang melanjutkan pekerjaan yang ia bawa dari kantor, memilih untuk berhenti sebentar.

“Why? Ada masalah di sekolah?” tanya Robert ketika Maudy menghampirinya.

“Janji jangan marah, ya?”

Robert mengangguk. “Mana mungkin Ayah marah?”

Maudy tertawa kecil lalu mengangguk.

“Ayah, temen Ody nginep, ya?”

Robert tersenyum saat mendengar permintaan izin dari Maudy.

“Temen apa temen?” goda Robert.

“Ihhh, temen, Ayah.”

“Temen atau temen?” Robert kembali menggoda anak gadisnya itu.

“Ayah!”

“Revano,” lirih Maudy pelan.

Tawa Robert lepas membuat Maudy mendecak kesal mendengarnya.

Tawa yang begitu terdengar mengesalkan.

“Okey,” ujar Robert begitu mudah.

Maudy kebingungan, kenapa sang Ayah tidak menanyakan atau marah.

“Ayah gak marah?” tanya Maudy.

“No, kenapa harus marah? Dulu waktu Ayah pacaran sama mama kamu, Ayah juga sering nginep, tuh.”

Maudy mendecak lalu tertawa kecil. “Itu mah beda, kalo Ayah.”

“Beda apanya?”

Maudy menggeleng tidak berani menjawab lagi.

“Nothing, Ayah aku juga minjem baju Ayah buat Reno, ya?”

Robert kembali mengangguk. “Iya, Ody.”

“Yes! Thank you, Ayah!” Maudy yang tadinya duduk di atas meja kerja Robert, kini ia melompat dan berdiri di samping Robert.

“Kalo gitu Ody mau bobo dulu, ya.”

“Bobo nya di kamar sendiri, kan?”

“Iya, dong, gak mungkin sama Reno.”

“Siapa tau, kan, namanya anak muda.”

Maudy tidak tersinggung. Ia malah tertawa, dan disahut tawa juga oleh Robert.

Tidak mungkin Maudy akan tidur bersama dengan Revano, dan tidak akan terjadi.