#.

Ayah, jangan bentak Ran, Ran takut.

Brakk...

Suara dobrakan pintu kamar, membuat Ran yang sedang makan tersentak kaget. Ran segera menoleh ke arah pintu, ia mendapatkan Maraka di depan pintu dengan raut wajah marah.

Dengan segera Ran berdiri dari tempat duduk, ia melangkahkan kakinya mendekat Maraka.

“K-kenapa bang?” tanya Ran gugup.

“Puas lo?” Pekik Maraka.

Ran kebingungan, ia tidak tau kenapa tiba-tiba Maraka marah kepada dirinya.

“Puas lo buat gue putus sama Aurel? Lo maunya apa sih?”

Ran menunduk menangis, ia merasa bersalah kepada Maraka.

“M-maaf,” lirih Ran.

“Lo kira dengan maaf gue bisa balikan sama aurel!” bentak Maraka membuat Ran lagi-lagi tersentak kaget.

“Ada apa ini?” tanya Johnny yang baru saja masuk ke kamar Ran. “Kamu buat masalah apa lagi Ran?”

“Ra—”

“Sekali saja kamu gak berulah bisa Ran? Cukup kamu buat ayah pusing karena kamu, jangan abang kamu juga!”

Ran tidak tau harus berbuat apa sekarang, ia hanya menunduk dan menangis.

“Kalo kamu diterima orang lain di luar sudah ayah usir kamu dari dulu!” teriak Johnny.

Teriakan Johnny benar-benar membuat tangisan Ran semakin menjadi-jadi.

“Ay—”

“Ngejawab lagi kamu! Kalo orang tua ngomong ngejawab!” potong Johnny ketika Ran hendak berbicara.

“Maraka kamu sana istirahat, besok sekolah,” perintah Johnny ke Maraka.

Tanpa menjawab Maraka dengan segera keluar dari kamar Ran. Namun ada yang beda, yang tadinya dirinya marah kepada Ran kini ia merasa kasihan, sudah seharusnya ia tidak marah ke Ran.

“Ran adek lo,” ucap Hazel tiba-tiba.

Maraka menatap ke arah Hazel yang berdiri di samping kamar Ran, mendengar semua yang terjadi sedari tadi.

“Setidaknya kalo lo gak sayang sama dia, jangan buat dia semakin dibenci sama ayah,” sambungnya.

“Maksud lo?” tanya Maraka kebingungan.

“Lo bukan anak kecil yang bodoh bang, kita memang gak tau kenapa ayah bisa sebenci itu sama Ran, tapi setidaknya jangan karena kita Ran semakin dibenci sama Ayah,” jawabnya tenang.

“Lo tau kenapa selama ini gue diem dan gak banyak omong sama Ran? Karena gue yakin kalo gue emosi ke dia, bakalan begini jadinya. Lo tau kan bang, apapun yang dilakukan Ran akan salah di mata ayah, kasihan Ran bang,” lanjutnya lalu berjalan meninggalkan Maraka yang masih terdiam di sana.

Ran masih menunduk menangis, ia takut untuk mengangkat kepalanya dan menatap mata sang ayah.

“Kalo orang tua ngomong tuh angkat kepala kamu, jangan diam saja!”

Ran sangat ingin mengangkat kepalanya, namun ia juga sangat takut. Ran sangat ingin menjawab namun ia tau semua akan sia-sia.

“Sudahlah, saya tidak habis pikir sama kamu!”

Johnny meninggalkan Ran sendiri di kamar. Setelah tidak ada siapapun di kamarnya Ran mendudukkan dirinya di lantai, memeluk erat kedua kakinya.

“Ran jangan gitu lagi ya, kan semuanya jadi benci sama Ran, Ran jangan nyusahin orang lagi ya,” lirih Ran dengan suara bergetar.

Ran terus menangis dalam diam dengan kedua kaki yang ia peluk terus menerus, ia merasakan takut yang amat sangat, bahkan tubuhnya bergetar bukan main.