41

Setelah mengirimkan pesan itu, Maudy tidak berniat untuk menunggu balasan lagi. Ia melempar handphone miliknya ke kursi penumpang, lalu memacu mobilnya kembali.

Setelah memarkirkan mobil, segera Maudy melangkah menuju kelasnya.

Namun seketika ia harus menghentikan langkahnya karena mendengar suara yang begitu keras memanggil namanya.

“Maudy sahabat ku!” teriak Zaidan, mau tak mau Maudy harus membalikkan tubuhnya.

Maudy memutar bola matanya juga, lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

“Apa?” tanya Maudy ketika dirinya kini sudah berhadapan dengan Zaidan.

Seperti biasa, Zaidan akan menunjukkan senyuman andalannya sebelum ia berbicara dengan Maudy.

“He he he.” Zaidan tertawa kecil, lalu berkata, “Minjem novel lagi, dong.”

Sontak Maudy menarik napas panjang lalu menghelanya kasar.

“Ya mana ada Zaidan, harusnya lo bilang dong dari kemarin, biar gue bawa. Lagian buat apaan sih novel? Kayak lo rajin baca aja,” jawab Maudy kesal.

Bukannya tersinggung, Zaidan malah menyetujui jawaban dari Maudy barusan.

“Makanya itu, gue mau belajar rajin baca!”

“Harusnya baca buku pelajaran, Zaidan ....” Maudy merasa gemas dengan Zaidan.

“Bukan malah baca novel, kapan pinternya?”

Zaidan memutar bola matanya sebelum menjawab, “Kalo pinter, mah, itu udah jatah lo sama Reno, gue bagian bodohnya aja.”

“Ah, bodo lah, gue mau ke kelas. Nanti chat aja mau minjem judul apa,” ucap Maudy sudah malas melanjutkan percakapannya dengan Zaidan, bisa-bisa ia darah tinggi nantinya.

Segera Maudy membalikkan badan untuk kembali melangkah ke kelas. Namun lagi-lagi ia mendengar teriakan Zaidan.

“Tolong suruh Reno balik ke kelas, ya!”

Maudy terkejut dan kebingungan, Reno? Ke kelas? Apa laki-laki itu ada di kelas Maudy sekarang?

Maudy berpikir itu tidak mungkin terjadi. Pasti Revano lebih memilih menghabiskan waktunya dengan Gema, daripada dengannya.

Gadis itu tidak mengambil serius ucapan Zaidan tadi, namanya aja Zaidan, lebih banyak ngawurnya daripada serius.

Saat Maudy memasuki ruang kelasnya, senyum yang tadi ia kembangkan ke teman-teman yang ada di depan pintu, kini tiba-tiba hilang ketika ia melihat sosok Revano di sana.

Mood Maudy berubah seratus delapan puluh derajat saat melihat kekasihnya, ah, mantan kekasihnya. Walaupun belum resmi, tapi Maudy akan meresmikannya nanti.

Tak ingin ambil pusing, Maudy tetap melangkah menuju meja miliknya, namun ada yang membuat ia bingung, kemana Misel, mengapa gadis cerewet itu belum tiba. Padahal sebentar lagi sudah mau masuk.

“Pagi Maudy,” sapa Revano dengan senyuman manis dan suara yang begitu lembut.

Maudy tidak goyah, dan tidak boleh goyah. Ia hanya bergumam lalu duduk di kursi milik Misel, mengingat Revano duduk di kursi miliknya.

“Udah sarapan?” Revano kembali bertanya agar mendapatkan perhatian dari Maudy.

Namun gagal, Maudy tidak menjawab. Gadis itu malah bermain dengan handphonenya.

Daripada menjawab pertanyaan dari Revano, Maudy memilih untuk menanyakan dimana keberadaan sahabatnya.

Mau membuka room chat dirinya dengan Misel, lalu mengetik pesan.

Sel, lo gak sekolah? Atau telat?

Pesan itu tak kunjung dibalas, membuat Maudy sedikit dongkol, apalagi suara Revano yang terus mengganggunya.

Ting

Satu notifikasi yang membuat Maudy begitu senang. Maudy mendapatkan sebuah pesan suara dari Misel.

“Ody, gue gak sekolah, gue sakit. Tolong jenguk gue, ya, bawa makanan yang banyak.”

Mendengar pesan suara tersebut membuat mood Maudy semakin berantakan.

Benar-benar hari yang menyebalkan baginya.

“Nanti bareng, ya? Aku aja yang nyetir,” kata Revano kembali bersuara.

Maudy enggan menjawab, ia memilih untuk tetap diam dan mengeluarkan buku dari dalam tasnya.

“Aku gak bawa mobil, jadi nanti kita bareng, ya? Aku anter beli makanan buat Misel juga,” lanjut Revano masih berusaha menarik perhatian gadisnya.

Namun lagi-lagi Revano gagal, untung saja laki-laki itu memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, tapi tidak melebihi tingkat kesabaran, yang Maudy punya untuk menghadapi dirinya.

Mendengar suara bel yang menandakan kegiatan belajar mengajar akan segera dimulai. Revano menyerah, ia berdiri lalu mengusap pucuk kepala Maudy pelan.

“Semangat belajarnya.”