45
“Eh, gue penasaran deh, Zel. Di panti asuhan lo dulu, yang jadi penanggung jawab siapa?” tanya Gisel yang sedang menyantap makan siangnya.
Hari ini adalah hari keduaku di sekolah baru. Semuanya berjalan dengan lancar, walaupun susah bagiku untuk mencerna pembelajaran hari ini. Masih mata pelajaran satu dan dua hari ini, tapi sudah cukup memusingkan.
Akhirnya aku ikut ke kantin dengan Yan dan Gisel, daripada di kelas, yang membuat kepalaku hampir pecah.
“Penanggung jawab itu maksudnya orang tua?” tanyaku sebelum memberi jawaban yang pasti.
Gisel mengangguk. Aku meneguk air mineral ku lalu ku tatap Gisel dan Yan secara bergantian.
“Ada Ayah,” jawabku.
Gisel dan Yan ber-o ria sebagai respon mereka.
“Kalo kita sih Ibu, iya, kan, Yan?”
Aku hampir tersedak sandwich yang sedang kumakan. Aku tidak menduga kalau mereka berdua juga anak dari panti asuhan?
Aku menatap Gisel dan Yan yang ada di hadapanku dengan serius. Terlebih ketika Yan mengangguk.
“Iya, baik banget lagi, kalau Ayah gimana, tuh, Zel?”
Aku tidak langsung menjawab karena masih terkejut dan tidak menyangka kalau mereka juga di panti asuhan.
“Baik juga, kok. Gue kira kalian bukan dari panti asuhan.” Tadi pagi saat kelas belum dimulai, aku banyak bercerita dengan Yan dan Gisel, termasuk menceritakan tentangku adalah anak angkat keluarga Adhitama. Aku kira mereka akan menunjukkan ekspresi yang gimana-gimana, tapi ternyata biasa saja, seakan mereka sudah tahu semuanya.
Aneh, Yan dan Gisel kompak tertawa. Memang ada yang lucu dari pertanyaanku.
“Kita sama, Zel. Tapi nasib kita beda, karena lo Adhitama sekarang.” Setelah mengatakan itu Gisel kembali melahap makan siangnya.
Aku masih terdiam, aku tidak paham. Kalimat itu kembali lagi aku dengar untuk kesekian kalinya, tapi ini dari orang yang berbeda. Lebih anehnya dia adalah seseorang yang baru saja aku kenal. Seakan-akan dia tahu tentang Adhitama.
Aku jadi penasaran sekaya dan seterkenal apa keluar Adhitama, sampai saat aku memperkenalkan namaku semua mata tertuju kepadaku.