48
“Anda yang memanggil polisi?” tanya petugas salah satu petugas polisi yang baru saja turun dari mobilnya.
Petugas polisi itu tidak sendiri, ada beberapa petugas lainnya dan juga Wisnu dengan Robert.
Jovas sang penelepon pun mengangguk membenarkan. Ia menunjukkan wajah cemas dan ketakutan. Wajahnya penuh dengan keringat, kemudia ia menunjuk ke arah sebuah bangunan kosong yang tidak jauh dari sana.
“Di ... Sana ...,” ucapnya terbata-bata, bahkan saat mengucapkan kalimat itu Jovas menangis.
Beberapa petugas mengikuti Robert yang langsung bergegas ke arah yang Jovas maksud.
“Mau minum?” tawar Wisnu, yang memilih untuk menemani Jovas yang kini berstatus sebagai saksi.
Jovas yang masih dihantui rasa takut, ia berusaha untuk menggeleng. Detik kemudian Jovas memberanikan menatap Wisnu.
“Rokok?”
Wisnu membulatkan matanya mendengar permintaan Jovas. “Anda mau rokok?” tanya Wisnu memastikan kembali.
Jovas mengangguk lalu berkata, “Aku biasa bisa tenang kalo ada rokok.” Sedikit ada rasa takut pada diri Jovas saat meminta, apalagi ia meminta kepada petugas polisi.
Wisnu mengangguk setuju.
“Setuju saya. Emang rokok itu penenang banget,“ujarnya setuju dengan Jovas, lalu mengeluarkan sekotak rokok dari saku celananya dan memberikan satu batang rokok kepada Jovas.
Tak lupa juga Wisnu memberikan pemantik api kecil.
Setelah rokok itu sudah berhasil ia dapat, Jovas sedikit merasa tenang setelah apa yang menimpanya.
“Wisnu,” panggil Robert, seraya melambaikan tangan ke arah Wisnu menyuruhnya untuk gabung ke sana.
Paham dengan yang Robert maksud, Wisnu segera mengikuti arahannya Robert. Sebelum itu Robert menyuruh agar Jovas tidak kemana-mana, dan tetap di sana.
Tanpa protes apapun dari Jovas, ia mengangguk patuh. Dan tetap di sana seraya menikmati rokok isapan demi isapan.
“What!” pekik Wisnu tidak percaya dengan apa yang baru saja ia lihat. “Kasus pembunuhan ... lagi?” Wisnu menekankan kata lagi, di kalimat itu.
Robert mengangguk. “Di lihat dari tusukan yang ada di perutnya, di duga kasus pembunuhan,” katanya.
Wisnu dan Robert serentak kembali melihat sudut demi sudut tkp, dan tak lupa mereka melihat tubuh korban sebelum dibawa oleh tim forensik untuk diperiksa penyebab kematiannya.
“Rob,” panggil Wisnu, kemudian ia berjongkok karena melihat sesuatu yang tidak asing.
Tanpa menunggu lama Robert menghampiri Wisnu, Robert pun ikut berjongkok sama dengan Wisnu.
“Abu rokok.” Wisnu menunjuk ke arah abu rokok yang ada di hadapannya.
Sama dengan kasus terduga pembunuhan yang terjadi sejak lima tahun yang lalu. Di setiap tkp pasti akan selalu ada abu rokok, hanya saja mereka baru menyadari hal ini saat kasus di hotel beberapa hari yang lalu.
Robert berpikir dengan keras, apa yang terjadi. Pria itu kembali berdiri saat mengingat sesuatu, disusuk oleh Wisnu.
Tanpa berbicara Robert melangkah dengan langkah besar. Langkah yang tiba-tiba itu mengejutkan Wisnu, namun Wisnu tetap mengikuti Robert dari belakang.
Ternyata Robert teringat dengan keberadaan Jovas yang kini berstatus sebagai saksi. Robert menghampiri Jovas yang kini hanya berdiri tegap tanpa melakukan apa-apa.
“Kamu merokok?” tanya Robert, sedikit mengejutkan Jovas karena kehadiran dan pertanyaan yang tiba-tiba itu.
Sedikit ketakutan namun Jovas tetap mengangguk, pasalnya ia benar-benar baru merokok tadi.
Bukan tanpa alasan Robert bertanya seperti itu. Keberadaan Jovas yang kini menjadi orang yang pertama kali melihat korban, membuat Robert menaruh curiga kepadanya.
“Dia baru gue kasih rokok tadi, Rob,” ucap Wisnu bergabung dengan Robert.
Baru saja Robert menaruh curiga kepada Jovas, namun terpaksa ia buang jauh-jauh pikiran itu. Tapi bukan berarti ia tidak lagi curiga.
“Kamu tetap ikut kita ke kantor,” kata Robert sebelum meninggalkan Jovas dan Wisnu dan kembali ke tkp.
Walaupun masih kebingungan, lagi-lagi Jovas hanya mengangguk patuh. Ia tau hal ini akan terjadi, karena ia lah yang melapor.
Sudah hampir satu jam Jovas di kantor, ia diberi begitu banyak pertanyaan yang dapat ia jawab dengan mudah.
Jovas yang tadinya ketakutan, kini sudah lebih tenang, bahkan saat Robert bertanya dengan nada tinggi.
“Memangnya ngapain kamu ke Minimarket terlebih dahulu, kalau tau gadis itu dalam bahaya?” tanya Robert lagi.
Tidak langsung menjawab, Jovas merogoh saku hoodie hitam yang ia kenakan, Mengeluarkan satu kotak alat kontrasepsi atau yang biasa disebut kondom.
Sedikit membuat Jovas malu saat mengeluarkan benda itu dan meletakkannya di atas meja.
Robert mengangkat alisnya sebelah saat melihat benda yang Jovas keluarkan.
“Kamu belok ke mini market terlebih dahlu karena mau beli 'itu'?” Robert menunjuk benda itu, dengan tatapan aneh.
Jovas mengangguk malu.
“Gadis itu pacar kamu?”
Jovas segera menggeleng. “Dia pelanggan aku. Aku baru kenal tadi pagi.”
Robert menghempaskan tubuhnya ke senderan kursi yang ia duduki.
“Terus kenapa beli begituan? Kenapa gak langsung nolong gadis itu?”
“Aku tidak tau kalau orang yang di depannya itu ngikutin dia. Aku cuman tau ada orang yang ngikutin dia,” kata Jovas, sedikit membenarkan agar ia bisa membela dirinya.
Robert menghela napas kasar. Karena dari semua jawaban yang Jovas berikan, sama sekali tidak menunjukkan bahwa Pria itu adalah pelakunya.
Bahkan sikap yang Jovas berikan, membuat polisi sedikit yakin bahwa dia bukan pelakunya.
Kini Jovas dibebaskan untuk sementara waktu, namun dia akan tetap dipanggil sewaktu-waktu sebagai saksi.
Saat ini Jovas sedang duduk di ruang depan kantor polisi. Menatap para petugas yang masih saja lalu lalang, walaupun saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
Bahkan di sana ada Robert dan Wisnu yang masih sibuk bekerja. Sesekali Jovas juga melihat Robert menatapnya, entah apa arti dari tatapan yang Robert berikan.
“Jo?” Suara seorang Wanita yang baru saja masuk ke kantor polisi itu mengundang atensi Jovas.
Tidak hanya Jovas, tapi beberapa petugas lainnya, terlebih Robert. Pria itu seperti mengenali suara itu.