50
Tw // kekerasan Cw // harsh word
Sekiranya memicu seuatu, tolong ditinggalkan, okkey😉
Revano terbangun saat handphone miliknya tak henti-henti berbunyi.
Dengan kondisi kepala yang masih pusing, tubuh yang begitu sakit dan kedinginan, Revano memaksa agar bisa bangun.
Revano meraih handphone miliknya yang berada di nakas, dengan mata sayu Revano melihat siapa yang meneleponnya di pagi buta.
Papa
Satu nama yang membuat Revano bangun seratus persen. Ia tidak peduli seberapa sakit kepala yang ia alami, seberapa sakit yang tubuhnya rasakan.
*Revano membaca beberapa pesan dari Papa.* Di pesan itu hanya tertulis kata pulang beberapa kali.
Revano teringat sekarang ia sedang berada di rumah Maudy, rumahnya untuk pulang.
Lantas Revano berpikir, kemana ia harus pulang, jika ia sudah berada di rumah?
Tanpa menunggu lagi, Revano bersiap-siap untuk pergi ke rumahnya, bukan pulang.
Terpikir oleh Revano untuk menuliskan sebuah surat. Ia mengeluarkan buku yang ada di tasnya, dan juga novel-novel yang dititipkan Zaidan.
Awalnya Revano tidak tau harus menuliskan apa, jika ia tulis ia harus pulang, maka ia akan menyakiti perasaan Maudy, karena semalam ia baru saja bilang kalau Maudy itu adalah rumah baginya.
Namun Revano dengan bodohnya menuliskan bahwa ia akan pulang ke rumah Gema.
Sesampainya Revano di rumah, ia disambut oleh Jordan Matteo, Papa Revano.
“Ikut saya ke ruang kerja,” perintah Jordan, dengan nada begitu datar.
Dengan perasaan campur aduk, Revano mengikuti langkah Jordan.
“Berlutut,” “perintah Jordan ketika mereka sampai di ruang kerjanya.
Tanpa banyak protes Revano mengikuti perintah Jordan, ia tau apa yang akan Jordan berikan kepadanya.
Cambukan demi cambukan, seperti biasa.
Clak ....
Satu cambukan berhasil mendarat di punggung Revano. Begitu pedih karena luka bekas cambukan tadi malam masih belum kering.
Sebelum Revano pulang ke rumah Maudy, dia juga sudah mendapatkan cambukan demi cambukan dari Jordan. Namun Revano berhasil kabur, untuk pertama kalinya.
Hal itu memicu kemarahan Jordan.
“Udah berani kabur?” tanya Jordan dengan tangan yang masih mengayunkan cambukan ke punggung Revano.
Revano terpejam menerima rasa sakit yang tiada habisnya.
“Kamu mau lari dari hukuman, Revano?”
Hal bodoh yang Revano lakukan, kabur saat hari dimana ia harus dihukum karena kesalahannya di masa lalu.
Hukuman itu akan selalu ia terima setiap bulan, di tanggal yang sama di mana ia melakukan kesalahan itu.
Dan juga bertepatan disaat ia lahir ke dunia.
Clak ...
Sudah tak terhitung cambukan ke berapa yang mendarat di punggung Revano.
Revano keluar dengan keadaan yang begitu mengenaskan, tubuh yang penuh dengan keringat, dan juga darah yang menetes dari punggungnya.
Saat Revano keluar dari ruang kerja Jordan, Revano melihat Anna, wanita yang dipanggil Mama oleh Revano. Tengah berdiri tidak jauh dari sana.
Wanita itu hanya diam dan menatap Revano, hal itu lebih menyakitkan daripada cambukan yang diberikan Jordan.
Dengan langkah gontai, Revano melangkah masuk ke kamarnya, belum ia sampai ke kasur, tubuhnya terjatuh lemah.
“Maudy .... Peluk aku, kayak dulu saat pertama kamu nemuin aku di belakang sekolah. Peluk aku, sakit ....”
Kembali di mana Revano meminta agar Maudy mengobati luka-luka yang ada di punggungnya.
Maudy baru teringat, hari ini adalah hari di mana Revano ulang tahun. Hari di mana Revano akan menerima hukuman dari sang Papa.
Maudy yang sudah selesai mengobati luka-luka itu, hanya bisa diam dan menahan tangisnya.
Ia tidak tau harus bagaimana.
Revano kembali mengenakan seragam sekolah miliknya, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi mobil.
“Arghh ...” Revano meringis karena sakit dari luka-lukanya.
Namun segera Revano melupakan rasa sakit itu, ia menoleh menatap gadis yang sudah mengobatinya.
“Terima kasih, ya, sayang? Terima kasih selalu ada untuk mengobati luka-luka aku.”
Revano tersenyum, lalu meraih kedua tangan mungil Maudy. Untung saja gadis itu tidak menolak.
“Izinin aku ngomong sebentar, ya?”
Maudy mengangguk.
Revano tersenyum lega saat menerima izin dari Maudy.
“Kalau kamu bahagia dengan kita putus, oke, ayo putus. Tapi ...”
Revano menjeda ucapannya sejenak.
“Siapa yang ngobatin luka aku saat hari ulang tahun aku tiba? Kemana aku harus pulang, saat rumah aku hancur?”
Revano mengusap lembut punggung tangan gadisnya. Sedangkan Maudy berusaha untuk tidak menangis, ketika mendengar kalimat di kalimat yang keluar dari mulut Revano.
“Gema bukan rumah untuk aku pulang. Kamu tau, kan? Dari dulu, jauh sebelum aku kenal kamu, aku jadikan rumah dia sebagai tempat persembunyian saat Papa marah. Dan sampai sekarang aku ngelakuin itu.”
“Kalo gitu kamu jadiin Gema rumah aja, Ren, kamu lebih bahagia, kan?”
Revano menggeleng tidak setuju.
“Gema gak pernah bisa jadi rumah aku, sayang. Dia gak pernah bisa nyembuhin luka-luka aku, gak kayak kamu.”
“Aku bukan dokter.” Maudy benar-benar menginginkan hubungan ini berakhir, walaupun ia tidak sanggup melihat keadaan Revano seperti ini.
“Gema punya ketakutan akan darah, dulu dia pernah hampir jadi korban penculikan dan pembunuhan. Aku sebagai teman laki-laki Gema satu-satunya, Mama Gema nitipin Gema ke aku. Aku udah anggap dia seperti kakak aku sendiri, karena dia lebih tua dari aku.”
Maudy sudah tau hal itu, Revano sudah menceritakannya dulu, saat mereka baru-baru kenal.
“Aku cuman ngejaga dia, gak lebih, aku gak pernah ada perasaan lebih ke dia. I love you, i just love you, Ody.”
Oke. Maudy mengaku kalah, ia tidak sanggup jika ini semua berakhir, ia tidak mau melihat Revano terluka dan melukai dirinya lagi. Ia tidak mau melihat Revano mati konyol nantinya.
Maudy yang sedari tadi menahan agar tidak menangis, kini ia tidak menahannya lagi. Ia menangis sejadi-jadinya.
Revano menarik Maudy ke pelukannya, memeluk gadis itu dengan sangat erat, tidak peduli walau tubuhnya masih terasa sakit.
“Jangan tinggalin aku, ya? Kalo aku salah, pukul aja, nggak apa-apa, tapi jangan tinggalin aku.”