#.
Suatu saat, Ran yang akan berjuang keras untuk ayah.
Kini ketiga anak Aditya sudah berkumpul di ruang tengah rumah mereka. Mereka bertiga duduk tepat di depan Johnny.
Ran duduk di tengah, tepat di depan sang ayah, walaupun perasaan takut yang sangat besar, Ran berusaha untuk tenang. Namun ia tetap menunduk agar tidak terjadi kontak mata dengan ayahnya.
“Ayah mau pamit kerja,” ucap Johnny membuka topik pembicaraan.
“Kan udah biasa, kenapa harus dikumpulin gini?” tanya Hazel.
Johnny menatap mata Hazelz lalu ia tersenyum. “Ayah akan kerja di luar kota, mungkin bisa sampai satu bulan tanpa pulang ke rumah,” jawab Johnny tenang.
Kali pertama bagi Ran mendengar suara ayahnya yang begitu lembut, ia merasa senang walaupun Johnny bukan berbicara kepadanya.
“Kenapa harus keluar kota yah?” kini Maraka yang bertanya.
“Sudah tidak ada harapan di sini, jadi supir saja, ayah tidak bisa memenuhi kebutuhan kalian.”
Ran hanya memilih untuk diam, perlahan ia mengangkat kepalanya, tepat di saat Johnny menatap dirinya, hal tersebut membuat Ran menunduk kembali.
Johnny meletakkan satu card atm di meja, tepat di depan Maraka.
“Ayah percaya sama kamu, memang uang di dalamnya tidak seberapa, tapi pastikan kamu dan adik kamu makan, makanan yang layak, dan di sana sudah ada duit untuk SPP kalian untuk bulan ini,” ucap Johnny seraya menatap mata Maraka.
“Ayah akan terus kirim kalian uang, kalo memang ayah harus lama di luar kota.”
Maraka mengangguk paham. “Iya ayah.”
Lalu Johnny meletakkan dua amplop coklat berisikan uang, di depan Hazel dan juga Ran.
“Pastikan cukup untuk satu bulan uang jajan kalian, cuman itu yang ayah punya,” ucapnya lagi.
Ran mengangguk walaupun masih menunduk. “Terima kasih ayah,” lirihnya pelan.
Hazel dengan cepat meraih amplop coklat tersebut, ia melihat berapa uang yang ada di dalam sana.
“Cuman dua juta yah? Satu bulan?” ucap Hazel seperti tidak terima.
Johnny menghela nafas kasar. “Ayah cuman punya itu Zayn, kalo nanti ayah punya duit, ayah akan kirim melalui abang kamu,” jawabnya.
“Yaudah, udah kan?” tanya Hazel lagi.
Johnny mengangguk. “Sudah, Maraka jaga adik kamu selama ayah gak di rumah. Ayah berangkat sekarang.” Johnny bangkit dari duduknya.
“Iya yah, ayah berangkat sekarang?”
“Iya, barang-barang ayah udah di luar.”
Setelah Johnny pergi, kini tinggal Maraka, Hazel dan Ran di rumah itu. Namun suasana rumah tidak ramah seperti biasanya.
“Lo gak seharusnya ngomong gitu sama ayah tadi,” ucap Maraka ke Hazel.
“Bukan urusan lo,” balas Hazel sinis, lalu meninggalkan Maraka dan Ran berdua di ruang tamu.
“Abang jangan berantem, mungkin bang Hazel butuh duit lebih banyak kan, nanti kalo abang Hazel butuh duit nanti punya Ran kan ada,” kata Ran menenangkan Maraka.
Maraka tersenyum ke Ran, mengusap pelan rambut sang adik.
“Memang uang Ran ada berapa dikasih ayah?” tanya Maraka.
Ran mengeluarkan uang yang ada di amplop coklat yang diberikan oleh sang ayah tadi.
“Dua ratus ribu,” jawab Ran dengan senyum mengembang.
“Ini lebih dari cukup untuk Ran, Ran gak jajan di sekolah, Ran juga gak pake ongkos, jadi awet deh selama sebulan,” sambungnya.
Hati Maraka seperti tersayat dengan pisau, sakit melihat senyum yang Ran.
“Pinter adeknya, abang,” puji Maraka.
Di kamar, Hazel mengeluarkan sebuah celengan besar dari lemarinya. Ia memasukkan uang yang diberikan ayahnya tadi sebesar satu juta.
Di depan celengan tersebut ada tulisan, yang bertulis tabungan untuk Ran.
“Tanggung jawab, tapi gak adil buat apa yah,” monolog Hazel.
Ia tau uang yang diberikan ayahnya untuk Ran berbeda jauh dengan jumlah yang ia terima, maka dari itu Hazel sering menyisihkan duitnya untuk Ran, tentu saja tanpa sepengetahuan siapapun.
Di lain sisi, Ran tengah duduk di kursi, dan meletakkan dagunya di atas meja belajar miliknya.
“Ayah di sana nanti baik-baik aja kan?”
“Kalo ayah sakit, nanti siapa yang obati.”
“Ayah, Ran janji! Suatu saat, Ran yang akan berjuang untuk ayah!”