.

. Cerita indah yang harus berakhir.

Pranggg

Suara gelas pecah yang berhamburan ke lantai memenuhi ruang tamu rumah keluarga Gayatri.

Pelaku dari keributan ini adalah Langit Gayatri. Kepala keluarga yang seharusnya mencontohkan hal baik, namun sampai detik ini hanya amarah yang dia tunjukkan.

Embun memeluk erat sang adik, agar sang adik tidak ketakutan melihat kemarahan sang ayah.

“Ayah boleh marah sama Embun, tapi jangan buat ibu dan adik ketakutan Yah,” Protes Embun dengan tangisan yang tidak berhenti.

Langit terkekeh mendengar protes dari anak sulungnya itu. Tanpa berpikir panjang ia menarik rambut Embun dan mendorong Embun sehingga badannya menabrak dinding rumah.

“Argghh, sakit Yah, ampun,” Ringis Embun.

“Ampun kata kamu? Udah berapa kali ayah bilang jangan nikah sama mereka! Kamu lupa kita berasal dari keluarga miskin hah!” Bentak sang Ayah dengan nada yang sangat keras.

Embun semakin menangis, begitupun Hujan adik Embun yang berlari ke arah ibunya.

“Apa salahnya orang miskin seperti kita menikahi pria yang di cintai Yah? Embun cint-”

Plakk

Belum sempat Embun menghabiskan perkataannya, satu tamparan berhasil mendarat keras di pipi Embun.

“Salah ! Lihat sekarang kita di permalukan. Udah miskin nama jadi buruk,” Murka Ayah. “Keluar kamu dari sini.” Tangan Ayah menunjuk ke arah pintu, mengusir Embun dari rumah kediaman keluarga Gayatri.

“Jangan Ayah!” Hujan berteriak, dia tidak terima sang kakak di usir oleh ayahnya.

“Diam kamu!” Jerit sang Ayah.

Tangisan dari 3 wanita yang ada di rumah itu semakin menjadi-jadi.

Embun tersenyum menatap sang Ayah dengan tulus, ia berusaha berdiri walaupun badannya yang sudah lemas dan bergetar.

“Kalo itu mau Ayah, Embun pergi,” Ujar Embun pasrah.

Ia berlutut di hadapan Ayah. “Maafin Embun sudah membuat semuanya berantakan, biar Embun yang menanggung semua ini.” Tangisan Embun semakin deras membasahi pipinya. “Embun akan menebus kesalahan Embun, maafin Embun.”

Ayah enggan melihat sang anak yang sudah berlutut di hadapannya, amarahnya sama sekali belum reda, ia masih membenci anak sulung yang dia tuduh penyebab kesialan keluarga.

“Saya gak akan maafin kamu, keluar kamu sekarang!” Murka Ayah berteriak menyuruh Embun keluar.

Embun mengangguk, sekilas ia menatap adik dan ibunya untuk yang terakhir kali, memberi senyuman semanis dan senyaman mungkin agar mereka tenang.

Langkah Embun tidak berhenti, ia sampai tepat di pintu keluar. Tanpa berpikir panjang ia segera keluar dari rumah itu. Ia tidak sanggup mendengar tangisan adik dan juga ibunya di dalam.

Ia menyesal, karena telah membuat keluarganya meneteskan air mata.

“Bahkan Tuhan saja pemaaf, kenapa manusia tidak?” Monolog Embun seraya melangkahkan kakinya menjauh dari rumah dengan langkah yang bergetar.

Cerita indah yang sangat ia sukai, cerita yang ia barusan bangun dengan pria yang ia cintai kini harus berakhir karena keegoisan manusia.