89
“Morning.” Jovas menyapa kala Milla masuk ke mobil dan duduk di sampingnya. Tak lupa juga Jovas memberikan senyuman sebagai sapaan.
Milla menoleh setelah menutup pintu mobil Jovas, dia pun tersenyum juga membalas senyuman Jovas.
“Pagi juga,” ujar Milla membalas sapaan Jovas.
“Langsung aja, ya? Udah telat juga nih aku,” kata Jovas dengan satu tangan yang udah siap di setir mobil.
Milla mengangguk, tidak lupa dia menggunakan seatbelt.
Kemudian Jovas memacu mobilnya dengan kecepatan normal. Selama perjalanan tidak ada dari mereka yang bersuara, terlebih Milla masih sangat-sangat mengantuk.
Tanpa sengaja Jovas menoleh ke arah Milla, dia mendapatkan mata Milla yang hampir terpejam, namun gadis itu buka kembali.
Jovas terkekeh melihatnya.
“Tidur aja lagi,” ucap Jovas mempersilahkan Milla untuk kembali tidur.
Milla menggeleng segera. Lalu tangannya bergerak menepuk-nepuk kedua pipi yang terasa dingin.
“Enggak, ah,” tolak Milla lirih dengan suara serak. “Masa tidur, kan aku mau curi resep rahasia!”
Jovas tak dapat menahan tawa tentu saja. “Emang beneran mau curi?” tanyanya dengan polos.
Yang tadinya Milla mengantuk, tiba-tiba menjadi segar mendengar pertanyaan polos Jovas.
“Ya ..., enggak! Jawabnya tegas. “Kasihan nanti kamu bangkrut.”
Jovas hanya tertawa mendengar jawaban Milla. Karena tidak lagi mengantuk, gadis itu dilanda rasa bosan.
Milla mencari-cari dan meraba-raba sebisanya. Begitulah Milla, jika dia bosan, maka hal yang bisa dia raih akan dia mainkan semuanya.
Seperti sekarang laci dashboard mobil. Namun tak sengaja dia memegang sebuah benda yang tajam.
“Awh,” ringis Milla segera dia menarik tangannya.
Dia pun terkejut karena melihat jari telunjuknya mengeluarkan cairan merah kental.
Tidak hanya Milla, Jovas pun panik. Segera dia meraih tangan Milla, dengan netra yang masih fokus ke jalan, dia mengisap jari Milla yang mengeluarkan darah.
Milla dibuat terdiam dan membeku oleh-nya. Tidak lama Milla menarik tangannya, sedikit membuat Jovas tersentak.
“Jorok, Jo,” tegur Milla, kemudian meraih tisu yang ada di dashboard.
Jovas merasa tidak enak seketika, dia menggaruk-garuk tengkuknya yang bahkan tidak gatal.
“Maaf aku refleks,” sesalnya benar-benar merasa bersalah.
Sesekali Jovas menatap Milla. Milla mengangguk setelah itu.
“Nggak apa-apa, tapi jorok aja darah dihisap gitu. Apa sih yang gue pegang.” Penasaran Milla membuka laci dashboard.
Ternyata di sana ada sebuah pisau yang terlihat begitu tajam.
“Maaf aku kebiasaan, jadinya aku lupa ... Maaf banget, ya?” Jovas benar-benar menyesal.
Segera pria itu menepikan mobilnya di pinggir jalan, lalu mengambil pisau itu dan memindahkannya ke jok belakang.
Lagi Jovas menatap Milla dengan penuh penyesalan. Bahkan Milla keheranan dibuatnya.
“Maaf ... .”
“It's okay! Ini cuman tergores doang,” balas Milla, karena memang benar-benar tidak sakit. Ringisan yang keluar dari mulutnya tadi, hanya sekedar refleks biasa.
Jovas menghela napas panjang. Dia benar-benar merasa bersalah. Dan merutuki dirinya diam-diam, karena telah ceroboh.
Milla tertawa saat melihat ekspresi Jovas yang begitu menyesal. Seperti baru melakukan kesalahan besar, padahal hanya kesalahan kecil.
“Udah, ah. Nanti ayamnya dipatok ayam, loh,” ucap Milla sedikit bercanda agar suasana kembali tidak canggung.
Walaupun masih diliputi rasa bersalah, Jovas tertawa mendengarnya. Kemudian kembali memfokuskan dirinya untuk menyetir ke tujuan.
Ternyata Jovas benar-benar pria yang jujur. Milla dibuat terdiam olehnya. Sebabnya sekarang pria itu sedang menangkap ayam-ayam yang ada di kandang, memilih yang mana yang akan dibeli.
Dan lagi Milla terdiam karena melihat pria tampan nan kekar itu, dengan sendirinya menyembelih atau memotong kepala ayam yang kini ada di genggamannya.
Milla terheran apa pria itu tidak merasa jijik. Sedangkan dirinya sudah dari tadi hampir muntah karena bau yang ada di pasar.
Ini bukan kali pertama Milla ke pasar, dia juga sering ke pasar dengan Ibu tirinya. Namun ini kali pertama dia menginjakkan kaki di daerah pasar yang menjual ayam dan ikan-ikan, jadi baunya lebih terasa berbeda.
Sedari tadi sibuk dengan ayam-ayam yang ada di hadapannya, kini Jovas mengalihkan pandangannya menuju Milla. Gadis yang sedang menutup hidungnya dengan jari, lalu membukanya lagi karena butuh udara.
Lucu, hingga membuat Jovas sedikit tertawa. Ia menggelengkan kepalanya pelan. Lalu kembali fokus pada kegiatannya, sampai selesai.
Setelah selesai Jovas menghampiri Milla. Meninggalkan ayam-ayam itu yang akan terlebih dahulu diurus oleh pedagang di sana, dan mengantarkannya ke warung pria itu.
Milla memberi jaket yang dititipkan Jovas tadi.
“Thanks, bau banget, ya?”
Milla mengangguk tanpa menutupi kejujuran dengan berbohong.
“Bau banget, kok lo tahan, sih? Kenapa gak suruh mereka aja gitu?” tanya Milla sembari mereka berjalan kembali menuju mobil.
“Aku cuman mastiin kualitas, Milla,” jawabnya dengan lembut.
“Kamu mau ikut lagi? Atau aku anter ke rumah?”
“Mau ikut!” Jawab gadis itu bersemangat. “Sekalian mau minta ayam, he he he.”
Terkesan kekanakan dan tidak tau diri memang. Namun ini salah satu cara Milla lakukan agar dia tidak lagi bersedih.
Jika bersama seseorang dia akan bersemangat dan tertawa bahagia. Namun tidak menutupi kenyataan dia akan terus menangis kala sendiri di gelapnya malam.