.

“Abang,” panggil Yudhis ketika dirinya sudah masuk ke apartemen Embun.

Sedari tadi Galaxy hanya berdiri diam di depan pintu kamar Bundanya.

“Iya om.” Galaxy mengalihkan pandangannya ke Yudhis.

Yudhis berjongkok di depan Galaxy, ia mengusap pelan kepala Galaxy. “Di depan udah ada om Jona, kebetulan tadi om Jona barengan sama om ke sini, Galaxy mau nunggu sama om Jona di depan?”

Galaxy terlihat kebingungan. “Kita mau kemana om?”

Yudhis tersenyum. “Kita ketemu om papa,” jawab Yudhis.

“Ayo om! Gala mau lapor ke om papa, kalo bunda nakal!” sahut Galaxy bersemangat.

Yudhis mengangguk. Galaxy dengan dengan segera menuruti perintah Yudhis.

Setelah Galaxy keluar, Yudhis berdiri di depan pintu kamar Embun. Samar-samar Yudhis dapat mendengar suara Isak tangis Embun, hatinya ikut terasa sakit.

Yudhis membuka kenop pintu kamar Embun, ia mendapatkan Embun yang tengah menangis meringkuk badannya di atas kasur.

“Embun,” panggil Yudhis pelan, namun tidak ada jawaban dari Embun.

Terpaksa Yudhis menghampiri Embun, dan membuka selimut yang menutupi dirinya.

“Embun, yuk Sandy udah nunggu kita,” kata Yudhis membuat tangis Embun semakin menjadi-jadi.

Embun duduk di samping Yudhis, ia menatap Yudhis dengan mata sembapnya.

“B-bohong k-kan kkak?” tanya Embun memastikan.

Yudhis menjawab dengan senyuman.

Embun kembali menangis, ia sangat menyesal.

“Semua gara-gara Embun!” bentak Embun ke dirinya sendiri.

Yudhis menggeleng. “Semua udah takdir Tuhan, udah waktunya Sandy beristirahat,” balas Yudhis.

“Ayok.” Sekali lagi Yudhis mengajak Embun untuk mengantar kepergian Sandy.


Semuanya benar, setelah Embun pulang sehabis menjenguk Sandy, keadaan Sandy kembali drop, dan dinyatakan meninggal pada malam itu juga.

Sekarang Sandy sudah menutup mata selamanya pada sebuah peti yang sudah diturunkan di liang lahat.

Perlahan tubuh Sandy yang sudah terbaring di peti jenazah, ditutupi dengan tanah.

Semua orang yang menghadiri pemakaman Sandy tidak dapat menahan tangisnya, terlebih Embun dan juga Ara.

Namun ada satu orang yang terlihat bingung, yaitu Galaxy. Namun dia hanya diam di pelukan Jonathan.

Dari jauh Papa Arkananta juga menghadiri pemakaman Sandy, ia juga tidak dapat menahan tangisnya, dan rasa bersalah yang amat besar.

Setelah semuanya selesai, satu persatu orang yang menghadiri pemakaman Sandy, mulai pergi dari sana. Meninggalkan keluarga dan juga sahabat terdekat Sandy.

“Embun disini kak, maafin Embun ya, maafin Embun yang egois.” Embun menatap batu nisan yang bertuliskan nama Sandy.

“Terima kasih karena udah bantu Embun untuk bangkit, terima kasih udah selalu ada untuk Embun saat Embun terjatuh, terima kasih udah jaga Embun dan juga Galaxy,” kata Embun dengan suara terputus-putus.

“Terus jaga Embun sama Galaxy dari sana ya kak?” Embun menatap Ara yang ada di sisi lain makam Sandy.

“Embun akan jaga Ara disini, Embun akan pastiin Ara baik-baik aja kak.” Tangis Embun semakin pecah.

Begitupula dengan Ara, namun Hujan terus menenangkan Ara.

Ara menggigit bibir bawahnya menahan tangis dan rasa sakit di dadanya.

“Ara— jangan ditahan, nanti sakit, habis itu nanti jangan nangis lagi. Nanti kak Sandy sedih,” ucap Hujan agar Ara tidak menahan tangisnya.

Ara sangat ingin mengucapkan kalimat selamat tinggal untuk yang terakhir kali ke Sandy, namun dirinya tidak sanggup.

Ara menyerah, ia memeluk Hujan dan menangis sejadi-jadinya di pelukan Hujan.


Mereka semua benar-benar meninggalkan Sandy sendirian di peristirahatan terakhirnya.

Ketika sedang berjalan menuju mobil mereka, Embun yang di bantu oleh Cherry memberhentikan langkahnya karena panggilan dari Ara.

“Kak Embun,” panggil Ara dengan suara seraknya.

Ara mengeluarkan sesuatu dari saku celana yang ia kenakan. Sebuah kotak kecil berwarna merah.

“Ini,” kata Ara seraya menyerahkan kotak tersebut ke Embun. “Waktu kak Sandy ditemukan, itu ada di kantong celana yang kak Sandy kenakan terakhir kali,” sambungnya.

Embun menyatukan alisnya kebingungan, ia membuka kotak kecil berwarna merah tersebut.

Kotak kecil itu berisikan sepasang cincin, di tutup bagian atas kotak tersebut terdapat nama Embun dan juga Sandy.

Dada Embun kembali terasa sangat sakit, ia kembali menangis.

“Hari dimana dia ngajak lo, dia berniat untuk ngelamar lo Embun,” Kata Yudhis tiba-tiba.

Membuat semua yang ada di sana terkejut, begitupun dengan Jonathan.

“Gue kira pas—” Yudhis menggantungkan ucapannya.

“Pas apa kak?” tagih Embun.

Yudhis tidak sanggup untuk melanjutkan ucapannya. Ia takut akan membuat Embun semakin merasa bersalah.

“Kak—”

“Kita pulang aja dulu ya, Galaxy sementara sama gue Jona dan Daffa, Cherry anter Hujan dan Ara ke rumah. Embun setelah kita anter, kita akan kasih kamu waktu,” potong Yudhis.