Adya, Andira, luka.
tw // Violence , blood
Sudah pukul delapan malam, dan seperti yang ayahnya suruh, kini Andira sudah berada di kediaman keluarga Jordan, dan istri barunya.
Sudah rutinitas Andira setiap Sabtu dan Minggu berada di rumah ini, tapi tidak untuk saat ini, karena hari ini masih hari Senin, dan Andira harus berhadapan dengan sang ayah lagi.
Andira sedang menunggu kepulangan Jordan di kamar yang disediakan untuk dirinya, dikala dirinya menginap.
Andira menyiapkan diri agar siap dikala Jordan pulang, dan menghukumnya nanti.
Andira duduk di bangku meja belajarnya, tak berhenti gadis itu mengetuk-ngetuk jarinya di meja belajar.
“Ayo dong tenang, An,” katanya pada diri sendiri.
Akhirnya saat yang tidak ia tunggu-tunggu datang. Jordan pulang dan saling membuka pintu kamar Andira.
Tanpa basa-basi Jordan langsung menutup pintu dan menguncinya.
“Buat masalah apa kamu?” tanya Jordan dengan nada dan tatapan yang sangat mengintimidasi.
Bahkan hanya dengan kalimat itu membuat Andira, tidak berani mengangkat kepala.
“Maaf, ayah.” Hanya itu yang bisa Andira.
Merasa geram, Jordan mengangkat dagu Andira agar mendongak.
“Saya di sini, bukan di bawah.”
“Maaf, ayah.”
“Saya gak butuh maaf dari kamu, saya hanya butuh penjelasan dari kamu, Andira!”
Mendengar bentakan dari Jordan, air mata Andira tak tertahan lagi.
Dengan amarah yang menguasai dirinya, Jordan mendorong Andira sehingga terjatuh dan terbentur meja belajarnya.
Andira hanya bisa menangis tanpa bisa melawan.
“Apa susahnya nurut, Andira? Saya tidak menutut banyak! Saya hanya mau kamu sempurna di segala aspek.”
Jordan menarik tangan Andira agar berdiri di hadapannya.
“Susah, Andira?”
“Tidak, Ayah, maafin Andira.”
“Belajar yang rajin, dapat nilai sempurna, hanya itu! Karena saya tidak mau punya keturunan bodoh, Andira.”
Andira memejamkan matanya saat Jordan mengangkat tangan hendak menamparnya.
Gadis itu ingin saja melawan dan berkata bahwa dirinya tidak mau menjadi bodoh, tapi dirinya tidak bisa.
Yang Andira lakukan hanya menerima semua hukuman dari Jordan, sampai amarah Jordan benar-benar terbalaskan.
“Saya sediakan fasilitas, saya sediakan uang, supir, mobil, motor, tapi kenapa bisa telat, Adya!” David ; papa Adya kini sedang membentak Adya habis-habisan.
“Karena kamu telat, kamu tidak mengikuti pelajaran, kan? Hm? Senang kamu?” geramnya.
Adya tidak menunduk bahkan matanya sama sekali tidak bergetar.
“Sama sekali tidak, Pa. Adya akan menggantinya hari ini, Pa. Maaf, Adya menyesal.”
David tersenyum masam, ia menampar pipi Adya berkali-kali dengan tamparan kecil.
“Saya begini karena kamu satu-satunya harapan keluarga Aditama, Adya!”
“Iya, Pa, maaf.”
“Bagus, sekarang belajar.” David meninggalkan kamar Adya.
Seketika lutut Adya lemas, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terduduk di lantai.
Terkadang ia berfikir, apa kehadirannya di dunia ini hanya untuk memuaskan ekspetasi keluarga. Tanpa bisa memenuhi ekspektasi diri sendiri.
Adya takut, takut tidak bisa melakukan hal itu, saat kondisinya seperti ini. Semakin hari semakin memburuk.
Ia hanya bisa sabar dan bertahan sampai saat itu tiba.
Capek, ya? Selalu dituntut untuk menjadi sempurna, tanpa ada dukungan, melainkan paksaan —Andira