Adya, Andira, Rumah
Mengetahui Adya sudah sampai di rumahnya, dengan langkah malas Andira menuju pintu.
Saat Andira membuka pintu, begitu terkejutnya, saat ia melihat Adya bersama Alam di sana.
“Kak Alam!” Andira memekik terkejut.
Alam tersenyum saat namanya dipanggil. “Hai,” sahutnya.
Andira mengerjapkan mata berkali-kali, sangking tidak percayanya ia.
“Kakak mau ngapain ke sini?” tanyanya pada Alam sampai ia tidak menghiraukan keberadaan Adya.
“Mau bahas materi yang dikasih pak Dipta, karena kamu pingsan tadi jadi kita mutusin buat bahas di rumah kamu, nggak apa-apa, kan?” tanya Alam memastikan.
Dengan sigap Andira mengangguk. “Ya, nggak apa-apa, masuk, kak.” Andira mempersilahkan Alam masuk.
“Gue?” Adya bersuara saat Andira hendak meninggalkan dirinya tanpa mempersilahkan masuk juga.
Andira mendengkus kesal. “Ya ....” Andira menjeda ucapannya. “Keluar,” katanya.
Adya terkekeh, ia melangkah masuk ke rumah Andira, lelaki itu tau pasti Andira hanya bercanda.
“Eh, ada tamu,” ucap Dona setibanya mereka di ruang tamu.
“Halo tante saya alam,” ucap Alam memperkenalkan diri serta menyalami tangan Dona.
“Saya Adya tante, teman sekelas Andira.” Sambung Adya yang juga menyalami tangan Dona.
Dona tersenyum bahagia melihat Andira yang kini lebih terbuka dan mempunyai banyak teman.
“Silahkan duduk,” ucap Dona mempersilahkan keduanya untuk duduk di sofa ruang tengah.
Tanpa protes Alam dan Adya menurut.
“Nak, buat minum gih.”
“Gak usah disuruh juga gue bikin,” kata Andira dengan muka melas.
Moodnya terlanjur jelek karena Dona.
Adya memperhatikan gerak-gerik Andira yang sedang berada di dapur. Ia menyadari ada hal yang berbeda darinya.
“Nih minum,” ucap Andira setelah membuatkan minuman untuk Adya dan Alam.
“Materinya ada berapa banyak, sih?” tanya Andira seraya memperhatikan kertas-kertas yang sudah berserakan di atas meja.
Adya dan Alam saling melempar tatapan, merasa aneh dengan nada bicara Andira.
Menyadari tidak ada jawaban dari kedua lelaki itu, Andira mendongak menatap mereka secara bergantian.
“Tuli?”
“Eh, ada seratus soal sama penjelasan, An. Kata pak Dipta kerjain dulu baru nanti dibahas sama-sama,” jawab Alam menjelaskan.
“Oh,” sahut Andira singkat.
Lalu Adya membagikan lembar soal ke masing-masing dari mereka. Setelah itu keadaan menjadi hening, karena fokus mereka sekarang tertuju ke soal.
Dona yang memperhatikan dari jauh, seperti ingin menangis. Menangis karena bahagia dan menangis karena sedih, karena sikap Andira terhadapnya.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam, cukup lama mereka menghabiskan waktu untuk membahas materi olimpiade yang akan mendatang.
“Kita pulang, ya, An.” Alam yang sudah selesai memakai sepatu berpamitan ke Andira yang berdiri di ujung pintu.
Andira mengangguk sebagai jawaban.
“Hati-hati, kak.” Andira tersenyum.
Alam mengangguk, lalu menoleh ke arah Adya yang masih sibuk dengan sepatunya.
“Duluan, ya, Dya.”
“Yo, sana.”
Setelah Alam menghilang dari pandangan Andira, saat itu juga Adya selesai menggunakan sepatunya.
Ia berdiri di samping Andira, menatap Andira yang kini sedang melamun.
“Kalo butuh tempat cerita, gue bisa, kok,” katanya membuat Andira tersadar dari lamunan.
Andira menghela nafas sedikit kasar.
“Bener, ya? Lo itu manusia tersksd,” tohok Andira. “Gih pulang,” ucapnya lebih ke mengusir Adya.
Adya sama sekali tidak tersinggung, bahkan ia tertawa kecil mendengar Andira.
“Kalo gitu izinin gue jadi temen, lo, biar gak sksd.”