Adya, Andira, rumah.
Setelah memarkirkan motornya, Andira tak sengaja melihat Adya yang juga sedang memarkirkan motor miliknya.
Semua chat dari Adya semalam, masih teringat jelas di pikiran Andira. Tak mau dibuat bingung, Andira berlari menyusul Adya yang sudah melangkah menuju gedung sekolah.
“Adya!” teriak Andira memanggil nama Adya.
Teriakan Andira tak hanya menarik perhatian Adya, melainkan seluruh murid yang berada di sekitar sana juga.
Andira merasa sedikit malu, karena kini semua tatapan tertuju pada dirinya.
“Kenapa?” Adya memberhentikan langkahnya, agar sejajar dengan Andira.
“Maksud chat lo semalem apa, sih?” tanya Andira to the point.
Adya terdiam sejenak, lalu ia kembali melangkah tanpa menjawab pertanyaan dari Andira.
Andira mendecak kesal, seraya menghentakkan kakinya.
“Jawab dong, gue kan nanya,” tagih Andira seraya mengikuti langkah Adya.
Andira terus bertanya, dan Adya terus diam hingga mereka tiba di depan kelas.
Terpampang jelas raut wajah kecewa di wajah Andira saat mereka berdua masuk ke kelas.
“Cieee tumben, nih, bareng.”
Baru saja mereka masuk, sudah disambut dengan teriakan heboh dari Hengkara.
Andira tidak memperdulikannya, namun Adya menoyor kepala Hengkara tiba-tiba.
“Dih, jahat amat si abang,” protes Hengkara tidak terima.
“Kok lo bisa bareng Adya?” tanya Marsha saat Andira sudah duduk dibangkunya.
“Ya, bisa? Orang satu sekolah, satu kelas,” jawab Andira ketus.
Marsha hanya menggelengkan kepalanya lalu kembali membaca buku yang sempat ia tunda.
Saat ini Andira, Adya dan Alam sedang berada di ruangan dimana mereka akan berlatih, untuk olimpiade matematika nanti.
Setelah Dipta membahas beberapa materi, kini ketiganya mendapatkan masing-masing lima puluh soal, untuk menguji seberapa jauh kemampuan mereka.
Entah soalnya yang begitu mudah, atau mereka yang begitu pintar, sehingga tidak ada ekspresi kesulitan terpancar saat mereka sedang mengerjakan soal-soal tersebut.
Setelah berperang dengan lima puluh soal, kini mereka tinggal menunggu hasil dari Dipta, yang sedang mengoreksi.
Tak banyak yang mereka lakukan, Adya memilih untuk mengerjakan tugas sekolah yang baru diberikan tadi, begitu juga dengan Andira.
Berbeda dengan Adya dan Andira, Alam kini sedang bermain dengan handphonenya.
“Oke.” Seruan Dipta membuat ketiganya menghentikan kegiatan.
“Nilai kalian sudah ada di tangan saya, sebelum itu saya mau bertanya. Soal yang tadi saya berikan, mudah atau susah?” tanya Dipta seraya menatap ketiganya secara bergantian.
“Mudah,” jawab Adya dan Alam secara bersamaan.
Namun Andira hanya diam, seperti ada yang menggangu pikirannya.
“Andira?” Dipta memanggil nama Andira.
Andira masih diam.
Adya yang sadar segera menepuk pelan pundak Andira, membuat Andira tersentak.
“Mudah, Pak,” jawabnya.
Terdengar suara helaan nafas kasar dari Dipta. Lalu tangannya mengangkat satu kertas yang entah milik siapa.
“Lalu kenapa hampir setengah soal kamu salah?”
Jantung Andira hampir berhenti berdetak mendengar hal itu, ia yakin sudah mengerjakannya dengan hati-hati tadi.
“Kenapa Andira? Ini masih soal dasar, bagaimana kalau sudah masuk ketahap berikutnya? Setidaknya jangan mempermalukan sekolah, Andira,” tegas Dipta dengan penuh penekanan.
Mata Andira terasa panas, ia tidak berani untuk menatap Dipta.
“Salah, tidak masalah, kan, Pak?” tanya Adya. “Sekarang kami masih dalam pembelajaran, wajar saja, kan?”
Dipta mengangguk setuju. “Hanya Alam yang mendapatkan nilai sempurna.” Dipta meletakkan kertas milik mereka di meja masing-masing.
Adya melihat hasil yang ia dapatkan, ada dua soal yang salah. Dan itu sama sekali tidak menggangu pikirannya, ia bisa belajar nanti.
“Terima kasih, Pak,” ujar Alam dengan senyum lebar terukir di bibirnya.
“Ya, sekarang kalian boleh pulang, jangan lupa dipelajari lagi soalnya, terutama kamu, Andira.”
“Baik, Pak.”
Setelah Dipta keluar, Adya, Andira dan Alam pun membereskan alat tulis mereka, lalu bergegas untuk pulang.
“Kak Alam, boleh pulang bareng?” tanya Andira berharap dirinya bisa diantar oleh Alam.
Alam tersenyum canggung, ia bahkan menggaruk tengkuknya dengan canggung.
“Maaf, ya, An. Gue udah ada janji,” jawab Alam menolak.
“Sama Bina?”
Alam mengangguk membenarkan.
“Duluan, ya? Adya, duluan.” Alam bergegas meninggalkan Andira dan Adya berdua di sana.
Andira hanya bisa memasang wajah kecewa, ia tau Alam berbohong soalnya Bina sudah sedari tadi pulang.
“Lo bawa motor, kan?” tanya Adya.
Andira mengangguk lemah.
“Kenapa minta dianterin?”
“Ngetes doang.”
“Yaudah gue anter.”
Andira menoleh cepat untuk menatap Adya.
“Lo mau naikin motor gue, ke motor, lo?”
Bukannya menjawab, Adya melangkah keluar dari ruangan itu. Tentu saja langkahnya diikuti oleh Andira dari belakang.
“Jawab dong!” ujar Andira merasa geram.
“Lo sanggup pegang dari belakang?” tanya Adya seraya mengenakan helm miliknya.
Andira yang tak mau ditinggal segera ia memakai helm miliknya juga, lalu menjawab, “Ya, enggak, aneh aja lo.”
Adya bergumam, ia segera menaiki motor sport miliknya dan menyalakan motor tersebut. Diikutin oleh Andira yang menyalakan motor matic miliknya.
“Duluan,” ucap Adya mempersilahkan Andira untuk jalan duluan.
Andira tak langsung nurut, ia menatap Adya penuh curiga terlebih dahulu.
“Lo beneran mau nganter, gue?”
“Hmm.”
“Beneran?”
“Iya, bawel.”
Andira tersenyum penuh kemenangan, ia sedikit tidak percaya. Namun gadis itu akan memastikan apa lelaki dihadapannya sekarang, akan benar-benar mengantarnya atau hanya tipu belaka.
Beberapa menit setelah menempuh dan melewati jalanan Jakarta yang begitu macet di sore hari. Akhirnya Andira sampai di rumahnya, ia berhenti tepat di depan pagar rumah miliknya.
Gadis itu melepaskan helm, lalu menghampiri Adya yang ternyata benar-benar mengantarnya sampai ke rumah.
“Padahal gue bercanda,” ucap Andira seraya tertawa. “Lo, suka gue, ya?”
Tanpa melepaskan helm miliknya, Adya menatap Andira.
“Udah sampe rumah, kalaupun rumah bukan tempat untuk pulang, setidaknya jadikan untuk tempat istirahat.”
Andira terdiam.
“Kalau ada masalah, yang diselesaikan masalahnya, bukan hidupnya,” lanjut Adya mengucapkan kalimat yang membuat Andira keheranan.
“Lo kenapa?” tanya Andira yang lagi-lagi kebingungan dengan kalimat demi kalimat dari Adya.
“Untuk mengucapkan sebuah kalimat, tidak perlu kenapa-kenapa terlebih dahulu, kan?”
Mata Adya tertuju pada lengan kiri Andira yang tidak tertutup lengah Hoodie panjangnya.
Segera Andira menarik lengan hoodienya, dan menutup sesuatu di dalam sana.
“Jangan lupa mandi terus keramas, gue pulang dulu.” Adya kembali menghidupkan motornya lalu pergi dari hadapan Andira yang masih terdiam.
Andira tersadar, lalu ia segera mencium rambutnya. Bahkan dirinya sendiri tidak tahan dengan bau rambutnya.
“Gue belum keramas tiga hari anjir, pasti kak Alam gak mau anter gue gara-gara ini.”
Andira merasa geli terhadap dirinya sendiri. Lalu segera ia membawa masuk motornya ke dalam rumah.
Rumah yang kini ia jadikan tempat untuk pulang, walaupun tanpa kehangatan.