Adya, Andira, sahabat
“Heng,” panggil Adya yang duduk di samping Hengara, ia berusaha membangunkan Hengkara dari tidurnya, sebab ini masih di jam pelajaran PKN.
“Hm,” respon Hengkara dengan gumaman.
“Bangun, dengerin yang dijelasin sama pak Yono,” kata Adya masih berusaha membangunkan Hengkara.
Bukannya bangun, Hengkara memilih untuk tetap tidur dengan posisi tangan di atas meja, dan kepalanya di atas tangan miliknya.
“Udah biarin aja, sih, Adya,” balas Nakula yang duduk di bangku belakang Adya dan Hengkara, bersama Arjuna.
“Nanti dia gak tau apa-apa, Na.”
“Emang udah bodoh, Adya, mau gimana lagi,” sahut Arjuna geram.
Adya menyahut dengan anggukan, tidak memperpanjang obrolan mereka, bisa-bisa nanti malah dirinya yang dihukum oleh Pak Yono.
Saat Adya sedang fokus ke papan tulis, tiba-tiba andangannya tertuju pada Andira. Beberapa menit ia terus menatap Andira dalam diam, hingga tanpa sengaja ia tersenyum.
“Ekhem.” Nakula yang sedari tadi sadar kemana arah pandangan Adya, berdehem pelan.
Adya segera mengalihkan pandangannya kembali ke papan tulis.
“Akhirnya, ya, Dya. Setelah beberapa tahun jatuh cinta juga, nih,” ejek Nakula dengan nada yang sangat menjengkelkan.
“Apa sih.”
Setelah jam pelajaran selesai, kini saatnya para murid menghabiskan waktu untuk istirahat.
Yang tadinya ngantuk kini pada seger, terutama Hengkara.
“Koy gas kantin,” serunya dengan penuh semangat seraya berjalan ke luar kelas.
“Giliran kantin aja semangat tuh bocah,” ujar Nakula yang hanya bisa menggelengkapn kepala, saat melihat tingkah sahabatnya.
“Namanya juga Hengkara,” balas Arjuna yang sudah tidak heran dengan tingkah sahabatnya itu. “Lo ikut ke kantin gak, Dya?” tanya Arjuna kepada Adya yang masih duduk di bangkunya.
Adya yang sedari tadi melamun, seketika tersedar mendengar pertanyaan dari Arjuna.
“Ya, ikut,” jawabnya singkat.
Ketiganya pun berlalu menuju kantin, menyusul Hengkara yang mungkin saja sudah tiba di sana.
“Kantin, yuk, An,” ajak Marsha yang sudah memasuki semua buku-bukunya ke dalam tas.
“Yuk, sebentar,” jawab Andira menyetujui ajakan dari Marha.
“Yuk.”
Marha dan Andira melangkah menuju kantin, untuk mengisi perut mereka. Setibanya di kantin, mereka dibuat bingung karena kantina sudah full, dan kedua gadis itu tidak tau mau duduk dimana.
“Oh ini cewek gatel yang deket-deket sama Alam?”
Mendegar sindiran yang bertepatan dengan langkah Andira dan Marsha, kedua gadis itu menoleh ke asal suara. Ternyata sindiran itu bersal dari Rosha atau yang sering dipanggil Ocha.
“Ha ha ha, kalo cakep mah nggak apa-apa, ya, kan? bisa bersanding sama Bina, eh ini,” lanjut siswi bernama Risha atau Icha yang ada di sebelah Ocha.
Andira dan Marsha sadar sindiran itu tertuju ke salah satu dari mereka, pasalnya, cewek yang ada di dekat mereka hanya Andira dan Marsha.
Tak ingin ambil pusing, Andira tidak meresponnya. Ia memilih untuk fokus mencari bangku kosong yang bisa dirinya dan Marha dudukin.
“Eh, jangan gitu guys, Andira cantik, kok,” ucap Bina yang ada di hadapan Ocha dan Icha.
Ocha maupun Icha terkejut karena Bina menyebutkan nama Andira. Andira yang tadinya tidak terpancing, kini sedikit terpancing karena Bina menyebut namanya.
“Mulut lo gak usah lantam, bisa?” tanya Marha yang emosinya sudah tak terkontrol.
“Dih, lo siapa?” tanya Ocha sambil tertaawa remeh.
“Gue sahabat Andira, cewek yang lo sebut namanya tadi, lo ke-geeran atau gimana, sih, Bin?” Marsha menatap Bina dengan tatapan tajam.
Andira berusaha untuk menahan Marsha agar tidak melanjutkan perdebatan itu, karena mereka kini sudah menjadi pusat perhatian.
“Eh? sorry, ya, kalo tersinggung. Tapi aku bilang yang sebenarnya kok, Andira cantik tapi gak secantik itu di mata Alam, eh maaf.”
Rahang Andira mengeras mendengar hal itu, sekarang ia benar-benar kehilangan kesabaran.
“Makasih, ya, gue emang cantik. Mungkin gak secantik itu di mata kak Alam karena muka gue satu, kalo lo? muka dua, ya? eh maaf.”
Murid yang berada di kantin pun tertawa mendengar serangan balik dari Andira.
begitupun dengan Adya dkk yang berada tak jauh dari sana hanya menyaksikan keributan itu.
“Maksud lo apaan, sih?” Suara Bina meninggi, ia pun berdiri dari bangkunya dan berhadap dengan Andira.
Andira sama sekali tidak takut, ia malah menertawai keberanian Bina.
“Lo yang apa! Bisanya main nyindir, lawak lo.”
Tak terima kalah dari Andira, Bina memikirkan sesuatu hal yang licik. Ia menarik rambut Andira saat gadis itu lengah.
“Arghh!” Andira memekik kesakitan, ia berusaha melepaskan tangan Bina dari rambutnya, “Lepas setan, jangan kayak bocah!”
Seakan tuli bukannya melepas, Bina semakin menarik rambut gadis itu. Bina merasa sangat puas saat Andira tidak melawan atau menarik rambutnya balik.
Marha yang tiddak terima, ia hendak membalas perbuatan Bina, namun sialnya ia ditahan oleh Ocha.
“Lepas anjir!” teriak Marsha saat tangannya ditarik oleh Ocha.
“Gak mau.”
Kembali ke Andira, ia merasakan kepalanya sangat sakit, gadis itu mau saja melawan namun tiddak bisa. Kemarin baru saja ia menerima perlakuan yang sama dari ayahnya, lukanya belum sembuh kini harus menerima luka yang sama.
“Lepas!”
“Gak, minta maaf sama gue, karena lo udah ngatain gue muka dua.”
“Gak akan, emang lo muka dua setan!”
Bina semakin emosi saat mendegar kalimat yang keluar dari mulut Andira, ia semakin kuat menarik rambut Andira.
“Arghh lepas setan!” Andira memekik lebih keras.
Adya yang sedari tadi melihat pertengkaran itu, kini ia tak bisa menahan dirinya lagi, ia bangun dari duduknya dan melangkah menuju Andira.
“Woi, Dya, mau kemana?” tanya Hengkara seraya berteriak, namun diacuhkan oleh Adya.
Saat Bina hendak menarik lebih kuat, tangannya ditahan oleh tangan kekar Adya, dengan sekali hentakan tangan Bina terlepas dari rambut Andira.
“Sakit sialan,” umpat Bina.
“Lo kira gue gak sakit, hah!” Baru saja Andira hendak membalas perlakuan Bina, namun dirinya segera ditahan oleh Adya.
“Udah,” ucap Adya tenang.
“Lo siapa sih ikut campur?” tanya Bina penuh penekanan.
Tidak mau urusannya semakin panjang, Adya memilih untuk tidak menjawab dan fokus kepada Andira.
“Duduk sama gue sama yang lain aja, yuk?” ajaknya dengan lembut.
“Gak! Sakit kepala gue gara-gara dia,” tolak Andira masih emosi.
Tanpa aba-aba Adya meletakkan tangannya di kepala Andira, lalu mengusapnya perlahan.
Andira tertegun, tak hanya Andira, Adya juga tertegun tak percaya dengan apa yang ia lakukan sekarang.
“Udah gak sakit, kan? Yuk.” Adya membalikkan tubuh Andira. “Yuk, Sha,” lanjutnya mengajak Marsha juga.