Adyan, Andira, suka

Andira sedari tadi tidak bisa tenang, karena jadwal ulangan harian matematika pasti sudah dimulai sedari tadi.

Namun Adyan tak kunjung sadar dari pingsannya.

“Padahal lo laki, kok pingsan.”

“Emang laki-laki gak boleh pingsan?”

Jantung Andira hampir merosot kebawah mendengar suara berat itu. Saat ia melihat Adyan, lelaki itu masih pingsan.

“Laki-laki juga manusia, Dira.”

“Kak Alam!”

Andira segera merapikan penampilannya saat Alam masuk ke UKS dan menghampiri Andira.

“Kakak sakit?” tanya Andira khawatir.

Alam, lelaki yang didambakan oleh Andira itu menggeleng.

“Saya cuman mau ambil obat untuk, Bina.”

“Oh,” sahut Andira dengan suara kecil.

“Adyan kenapa?” tanya Alam sambil melihat Adyan yang masih terpejam.

Andira tampak tidak semangat, tak seperti saat pertama kali ia melihat Alam di sana.

“Dira?” panggil Alam seraya menjentikkan jarinya.

“Ah itu, pingsan tadi pas lagi bersihin kolam.”

Alam tertawa kecil. “Kalian dihukum?”

Andira mengangguk malu. “Iya.”

“Ha ha ha, yasudah, saya ke kelas dulu, ya? Oh ya kata Pak Yono, kalian disuruh hubungi orang tua.”

“Kak, beneran?” Andira bertanya tak percaya.

“Ya, iya, ngapain saya bohong? Sudah, ya.”

Alam berpamitan keluar dari uks, sedangkan Andira masih terdiam dengan pikirannya yang campur aduk.

“Baru dibilang dia ambil obat buat, Bina, langsung kepikiran.” Adyan sedari tadi sudah sadar, namun ia tetap terpejam dan mendengarkan semua pembicaraan Alam dan Andira.

“Lo udah sadar?”

“Hm.”

“Dih! Ahh ngeselin!”

“Kenapa, sih?”

“Lo ngeselin.”

Adyan dan Andira saling melempar tatapan tajam.

“Apa, lo?”

Adyan menggelengkan kepalanya lalu tertawa sinis.

“Lo beneran suka sama, Alam? Bisa suka sama laki-laki juga, ya? Kirain sama buku aja.”

“Gue mau berantem sama, lo.”