Adyan, Andira, telat.
“Kalian ini harusnya memberi contoh yang baik, malah telat,” ucap Yono yang kini sudah berdiri dengan sebuah penggaris panjang kebanggaannya, di tangan.
“Maaf, pak,” jawab Adyan penuh penyesalan.
“Memang kita gak boleh telat, pak? Kan kita juga murid biasa.” Berbeda dengan Adyan yang meminta maaf, Andira memilih untuk menjawab, tentu hal itu membuat Yono murka.
Yono menatap Andira dengan tajam. “Kamu ini Andira, juara umum terus-menerus, pernah juara olimpiade saat kelas sebelas, nama kamu sudah ada loh di sekolah ini.”
“Maaf, pak,” lirih Andira dengan kepala tertunduk.
“Harusnya kalian ini bertanggung jawab dengan kesalahan yang kalian lakukan, tah!”
“Iya, pak.”
“Maaf, pak.”
Yono menghela nafas kasar lalu menggelengkan kepalanya perlahan.
“Mari ikut saya.”
“Kemana, pak?” tanya Andira keheranan.
“Ya, saya beri hukuman, lari keliling lapangan.”
Adyan dan Andira sama-sama terkejut mendengar hukuman yang akan mereka hadapi. Namun reaksi yang mereka berikan cukup berbanding terbalik, Adyan yang memilih untuk diam dan Andira yang tidak terima.
“Duh, pak, jangan lari, pelase? Berkeringat, pak, gimana kalo bersih-bersih saja, pak?”
“Kok malah nawar, kamu? Kamu kira saya lagi jualan?”
“Ha ha ha, bapak ngelawak, ya? Lucu kok, pak, please?”
“Saya tidak sedang melucu, Andira!”
Nyali Andira menciut seketika.
Tanpa protes lagi Andira dan Adyan mengikuti langkah Yono. Sepanjang perjalanan, Andira tak berhenti mengomel dengan suara yang kecil, tapi masih dapat didengar oleh Adyan.
“Berisik,” kata Adyan merasa terganggu dengan omelan yang terus keluar dari mulut Andira.
“Dih, sokap.”
“Loh pak kok ke kolam renang?” tanya Andira penasaran, pasalnya arah lapangan ke kiri dan kolam renang ke kanan, Yono berbelok ke kanan.
“Andira, kamu ikut saja, tak usah banyak protes, tah.”
“Baik, tah,” sahut Andira mengikuti cara bicara Yono, yang sering mengucapkan kata tah.
Refleks Adyan tertawa, namun ia segera memasang ekspresi datar.
“Nah, sampai!” Seru Yono ketika mereka sampai di kolam renang yang cukup luas di sekolah.
“Tugas kalian membersihkan kolam renang yang kebetulan masih kosong,” ucap Yono menjelaskan hukuman apa yang harus dilakukan Adyan dan Andira.
“Loh, pak, lama dong? Saya ada ulangan, pak, hari ini. Lari saja, ya, pak?” Andira memohon semanis mungkin.
Adyan tidak berkutik, namun dibenaknya ia berharap permohonan Andira berhasil.
“Saya bilang tidak bisa menawar, tuh, lihat kotor banget. Atas dan bawah dibersihkan!”
Yono segera meninggalkan Adyan dan Andira. Padahal baru saja Andira hendak protes kembali.
“ARGHHHH!” Pekik Andira dengan kuat. “Gara-gara, lo, sih.” Andira menatap Adyan dengan penuh amarah.
“Kok gue? Lo yang telat juga.”
“Tapi gara-gara, lo, gegabah! Coba kalo lo pelan dikit pas manjat tadi, arghhh!”
“Lagian siapa suruh telat,” sewot Adyan seraya berlalu melewati Andira dan meraih alat-alat untuk mulai membersihkan kolam tersebut.
“Lah, kok sewot.”
Andira hanya diam tanpa melakukan apa-apa, sedangkan Adyan sudah bersiap-siap untuk melakukan hukumannya.
Tiba-tiba terbersit pikiran licik di otak Andira. Pelan-pelan ia mundur, berencana untuk kabur dari sana.
“Mau kemana?” Adyan menahan tangan Andira segera saat mengetahui Andira hendak kabur.
“Nih.” Adyan menyerahkan ember ke Andira agar gadis itu tidak kabur lagi.
“Ambil air di keran sana,” titahnya secara menunjuk keran air yang sedikit jauh dari tempat mereka berdiri.
Andira mengambil ember yang ada di tangan Adyan secara kasar, lalu ia berjalan menuju keran dengan rasa kesal yang masih ada dibenaknya.
Adyan dan Andira membersihkan kolam renang dengan telaten, walaupun Andira masih diliputi rasa kesal.
“Kok lo gak bersuara, Yan?” tanya Andira karena merasa hening banget di sana.
Adyan menjawab dengan gumaman. Bukannya tidak mau menjawab namun tiba-tiba ia merasa pusing. Tapi lelaki itu menahannya.
“Yan, harusnya lo protes tadi, biar kita ikut ulhar, lo tau, kan, gimana kejamnya pak Dipta.”
“Yan, Adyan. ad—”
“Adyan!” Andira memekik terkejut saat melihat Adyan pingsan.
Andira melemparkan alat pel yang ia pegang tadi, ke sembarang arah. Lalu ia melangkah menghampiri Adyan.
“Yan, jangan main-main, ah.”
“Yan, Adyan!” Andira menggoyangkan tubuh Adyan.
Namun tidak ada tanggapan dari Adyan.
“Aduh gimana, nih.”
“Yan, bangun, Yan.”
“Ihhh, nyusahin dasar.”
Andira berfikir apa yang harus ia lakukan. Setelah mendapat jalan keluar, ia berlari dengan cepat.
Melewati beberapa ruang kelas, sampai ia melewati ruang kelasnya sendiri, 12 Ipa-1.
Andira awalnya hendak mencari Pak Yono, kebetulan Pak Yono berada di kelasnya.
“Pak!” teriak Andira menarik perhatian teman-teman kelasnya.
Yono yang sedang berbincang dengan guru yang sedang mengajar di kelas itu, segera menoleh.
“Apalagi, tah, sudah siap?”
“Anu, pak.” Andira tidak bisa langsung melapor, ia masih berusaha mengatur nafasnya.
“Anu wanu, yang jelas.”
“Adyan ..... Adyan pingsan, pak,” lapor Andira.
“What! Adyan pingsan?” Suara Hengkara menggelegar isi kelas.
“Kok bisa, An?” Nakula bertanya dengan raut wajah yang panik.
“Di mana, An?” tanya Arjuna tak kalah panik.
Dengan nafas yang masih belum teratur, Andira menunjuk ke arah kolam renang.
“Kolam, kolam renang.”
Mendengar dimana Adyan, segera Hengkara, Nakula dan Arjuna berlari ke sana, disusul oleh Yono dan Andira.
Di UKS, Adyan juga belum sadar dari pingsannya.
“Kamu apakan, Adyan, Andira?” tanya Yono.
“Loh kok, saya, pak? Saya mah gak tau, orang pas saya lihat udah pingsan.”
“Kayaknya Adyan kecapean deh, pak,” jawab Nakula. “Soalnya dia sering kecapean, pak.”
“Yasudah, yang lain balik ke kelas.”
Hengkara, Nakula dan Arjuna hendak beranjak dari sana, begitu juga dengan Andira.
“Kamu enggak, Andira.”
“Loh kok saya enggak, pak?”
“Ya, kamu masih dihukum, tah.”
Andira mendengkus kesal, ia hanya bisa menurut.