ain't my fault
Beberapa menit setelah mencoba menghubungi Deva, akhirnya panggilan itu tersambung.
Deva awalnya malas untuk menerima telepon dari pria bodoh satu ini.
“Dev, lo denger dulu penjelasan gue,” tutur Jeon dari seberang telepon dengan cepat.
Deva tertawa kecil. “Jelasin apa? Gue udah tahu semua, kok. Lo cowok terbodoh yang pernah gue kenal, Jeon.”
“Tapi gue punya alasan buat nerima taruhan itu, Dev.”
“Apa? Mau bikin gue cemburu? Mau bikin gue sakit hati? Bukan gini caranya, Yon.”
Deva menghela napas dengan kasar setelah mengucapkan kalimat itu. Entah mengapa rasanya ia tidak dapat menahan emosinya.
“Lo udah tahu?”
“Tahu apa? Tahu kalau lo brengsek, lo beg—”
“Tau kalo gue suka sama lo!” potong Jeon dengan cepat, mengucapkan kalimat itu dengan penuh penekanan.
“Gue suka sama lo, Deva. Dari dulu.”
Deva memejamkan matanya seraya menarik napas dalam-dalam, kemudian ia hembuskan secara perlahan.
“Gue baru tahu, Jeon. Lo harusnya bisa jujur dari dulu. Gue kira lo beneran baik sama gue karena hubungan persahabatan kita, karena gue juga gitu, Jeon.”
Hening sejenak, Jeon tidak menanggapi apa-apa. Saat Deva hendak berbicara kembali, suara Jeon kembali terdengar.
“Lo ngga perna—”
“Iya. Gue enggak pernah suka sama, lo. Sekalipun. Gue baik, gue selalu meluk lo, gue selalu bantu lo waktu lo lagi terpuruk karena trauma lo. Dan itu lo lakuin juga ke gue, kan?” Deva terdiam sejenak lalu kembali berkata, “Lo selalu ada untuk gue, gue juga begitu, Jeon.”
“Maaf.”
Deva sedikit sakit mendengar suara Jeon yang melemah. Namun, ia juga sakit hati karena perbuatan Jeon saat ini.
“Je, gue bukan tipe cewe yang mudah kebawa perasaan. Gue tahu harus jatuh cinta sama siapa, gue tahu harus milih pasangan yang kayak gimana, dan milih sahabat yang baik gimana.”
“Gue?”
“Lo sahabat gue, Jeon. Sahabat kecil gue. Gue sayang sama lo? Tentu. Tapi sebagai sahabat.”
“Iya. Gue bodoh.”
“Dan. Jeon, sorry, tapi gue harus bilang ini. Gue gak akan pernah suka sama seseorang yang punya trauma masa lalu, dan kesehatan mental yang tidak stabil, Jeon. I'm sorry,” ucap Deva dengan jujur tentang perasaannya. Walaupun ia merasa tidak harus berkata seperti itu, namun kalimat itu sudah keluar dari mulutnya.
“Dan itu gue, Dev?”
“Iya. Itu lo, Jeon. I'm sorry.”
“Gak usah minta maaf, bukan salah lo,” kata Jeon dengan berat. Namun, setidaknya sekarang ia sudah sedikit lega karena semuanya sudah selesai. Pertengkaran antara pikiran dan juga perasaanya kepada Deva sudah terjawab.
“Je ... .”
Belum sempat Deva kembali berbicara, sambungan telepon itu dimatikan secara sepihak begitu saja oleh Jeon. Deva merasa bersalah telah mengatakan hal itu, tapi mau bagaimanapun ia harus jujur, agar semuanya jelas.
Walaupun kalimat yang ia katakan begitu kejam. Namun, itulah kenyataannya.