akhir yang ia pilih
Hari sudah malam, kini Ran sedang terbaring namun tidak terlelap di atas kasur.
“Tidur nak,” ucap Johnny lembut.
Sedari tadi Johnny tidak melepas genggaman tangah Ran. Ia terus menerus di samping Ran, membuat Ran tak henti-hentinya tersenyum.
“Ayah gak tidur?” tanya Ran.
“Ayah yang jaga Ran,” jawabnya sangat tulus.
Ran lagi-lagi tersenyum. “Ran bobo ya ayah?”
Johnny mengangguk. “Iya sayang, tidur ya, tapi janji ke ayah besok bangun ya?”
Ran mengangguk. “Pasti ayah,” jawabnya tegas.
Johnny merasa lega, walaupun dirinya masih dihantui rasa bersalah.
Ia terus mengusap pelan tangan putri kecilnya itu. Lagi-lagi Johnny menangis, ia kembali mengingat betapa bejatnya ia dulu.
Seorang ayah yang tidak pernah tersenyum kepada sang anak, seorang ayah yang sangat-sangat tidak adil.
Seorang ayah yang dengan ringan tangan memukul putrinya sendiri.
Benar kata Hazel, apa dirinya pantas dipanggil dengan sebutan ayah?
“Ayah,” ucap Ran tiba-tiba.
“Anak ayah belum tidur?”
Ran menggeleng sebagai jawaban.
“Ayah jangan nangis, nanti Ran juga nangis, Ran gak mau nangis ayah.”
“Kenapa?”
“Kata Fito, kalo Ran nangis Ran jelek.”
Johnny sedikit tertawa mendengar ucapan sang anak. “Ia sayang, ayah gak nangis.” Dengan cepat Johnny mengusap air matanya.
“Yah,” ucap Maraka pelan.
Maraka dan Hazel juga berada di sana, namun Hazel sudah tertidur dari tadi, mungkin ia lelah mengurus berkas-berkas dan juga biaya rumah sakit Ran.
“Ayah tidur di samping Hazel aja, biar Raka yang jaga Ran.”
Johnny menggeleng tegas. “Ayah yang harus jaga putri ayah sendiri, ayah harus membayar semuanya Raka.”
Raka merasakan ingin menangis kembali. Ia mengusap pelan pundak sang ayah.
“Ayah udah buat Ran mengidap short term memory loss, tapi ayah gak pernah menghargai perjuangannya yang ada ayah selalu pukul Ran. Sekarang ayah harus menjalani hukuman ayah Raka, ayah harus membayar semuanya— ayah harus memastikan Ran kembali sehat sempurna apapun caranya—”
“Bahkan jika nyawa ayah yang harus ayah pertaruhkan, ayah akan lakukan itu demi Ran.”
Maraka tidak tau ingin menjawab apa, satu sisi ia merasa senang. Hari yang tunggu-tunggu akhirnya tiba, dimana sang ayah menyadari semuanya.
Namun ia juga merasa sedih dan gagal, karena Ran harus merasakan luka yang bertubi-tubi.
Anak terakhir, putri terakhir yang hidup di antara tiga lelaki yang seharusnya menjaga putri kecil itu, namun nyatanya putri kecil itu harus menerima luka fisik dan juga mental.
Disisi lain, Fito yang masih merasa lemas dan juga sakit di sekujur tubuhnya. Ia sedang berusaha keras untuk membaik.
“Bunda,” panggil Fito pelan.
Bunda yang sedari tadi di samping Fito tersadar dari lamunannya.
“Iya nak? Kamu butuh apa?” tanya bunda terburu-buru.
Fito menggeleng lemah. “Bunda sayang sama Ran?”
Pertanyaan itu keluar dari mulut Fito dengan lancar.
“Iya nak, sayang banget,” jawab bunda dengan tulus.
Bagi bunda, Ran adalah anak keduanya walaupun tidak ada hubungan darah, namun bunda merasa senang dan nyaman melihat sosok Ran.
Fito tersenyum lega, nafasnya sedikit stabil. “Sama nda, Fito juga sayang banget sama Ran.”
Bunda tersenyum mendengar hal itu, ia bersyukur akan hal tersebut.
“Ran satu-satunya perempuan yang sangat Fito sayangin setelah bunda,” ucapnya dengan tawa kecil.
Bunda juga tertawa kecil mendengar ucapan Fito.
“Bunda tau? Setelah masa lalu yang menimpa Fito .... Fito hampir membenci perempuan, termasuk bunda,” katanya jujur.
Bunda sedikit terkejut mendengar pernyataan tersebut.
“Tapi dia datang nda— perempuan dengan senyum yang ceria, manis, dan kuat .... Fito gak akan malu untuk berteriak ke orang-orang kalo Fito sayang sama dia.”
Bunda mengangguk dan tersenyum, terus mendengarkan semua ucapan anaknya.
“Nda,” lirih Fito pelan.
“Iya nak?”
Fito menarik nafas dalam-dalam, lalu ia menghela nafas panjang.
“Bunda inget gak? Fito udah mendaftarkan diri sebagai pendonor organ tubuh, jika suatu saat Fito udah gak ada.”
Bunda terbelalak kaget mendengar ucapan Fito barusan.
“Nak,” ucap bunda panik.
“Bunda mau terus lihat Fito hidup nda? Selalu ada di samping bunda.”
“Fito—”
Fito tersenyum lebar, mata sayunya menatap mata bunda yang sudah berkaca-kaca.
“Kalo nanti Fito udah gak bisa bertahan, biar Fito hidup sebagai mata Ran ya bun? Fito akan selalu melihat bunda, dari Ran dan juga dari jauh.”
Tangis bunda pecah, Melihat sang bunda yang menangis, Fito tak dapat menahan kesedihannya.
Air matanya juga ikut mengalir. Namun keputusannya sudah bulat, ini akhir yang ia pilih.
Ia akan selalu ada untuk gadis kuat bernama Randika putri Aditya.