•
Aku sedikit takut untuk ke meja makan, untuk makan siang. Takut nanti mereka bertiga akan mengadu ke Ayah atau malah membalas kejahilanku. Padahal aku cuman mau ngelakuin ini sebelum mereka pergi saja.
Tapi ternyata aku tidak tahan, perutku sudah menyanyi dengan merdu. Aku pun melangkahkan kaki sembari bersenandung, sesekali aku menjahili adik-adik yang sedang main di ruang tengah, sepertinya mereka sudah selesai makan.
Biar ku tebak di meja makan tinggal Rainan, Jovan, Navan dan Ayah.
Ternyata dugaan ku sangat benar, ketika langkahku sampai di depan meja makan, aku melihat mereka sedang menikmati makan siangnya.
“Azel sini duduk makan,” kata Ayah. Tanpa menunggu aku langsung menarik kursi yang ada di samping Rainan, dan meraih piring yang ada di atas meja makan.
Seperti biasa tidak akan ada pembicaraan selagi kegiatan makan berlangsung, jadi aku harus dengan cepat menghabiskan makanannya sebelum yang lain selesai.
Tapi anehnya mereka tidak langsung beranjak dari sana, aku berusaha untuk tidak menatap mereka, terlebih Jovan dan Navan yang duduk di depan ku.
Sepertinya Ayah merasa ada yang aneh, karena saat mataku tidak sengaja menatap Ayah, dia sedang menatap aku, Rainan, Jovan dan Navan secara bergantian.
“Kalian kenapa?” Tanya Ayah setelah menghabiskan makanannya.
“Azel jahil lagi, Yah,” adu Rainan. “Masa bohong ke Jovan sama Navan.”
“Terus ngefitnah Navan lagi, Yah,” tambah Navan.
Kalau Jovan hanya bagian mengangguk saja. Aku yang baru saja menghabiskan makananku, hanya bisa tertawa sambil menggaruk leher belakangku yang tidak gatal.
Ekspresi Ayah sama sekali tidak terduga, bukannya marah Ayah malah tertawa. Aku dan yang lainnya sama-sama terheran.
“Lagian itu Azel, apa yang kalian harapkan, hm?”
Ternyata Ayah sama saja seperti yang lainnya. Aku mendecak kesal tentu saja, apalagi mereka tertawa seakan mengejekku.
“Tapi ngeselin, Yah,” kata Rainan.
“Bercanda doang, elah,” jawabku, aku harus membela diri, walaupun sudah diejek.
Mendengar jawabanku Rainan menoleh memberikan tatapan tajam kepadaku. Tak mau kalah aku juga menatapnya dengan tatapan tajam ku.
“Gak gue masukin lagi ke grup, mampus,” ancamnya.
“Mampus, nyenyenye,” responku mengejek Rainan. Rainan hendak membalas tapi dia keduluan sama suara Ayah.
“Navan gimana bajunya? Muat?” Tanya Ayah.
Aku mengernyit sepertinya ada yang aku lewatkan. Aku lihat ekspresi Navan begitu senang ketika ditanyakan hal itu.
“Muat Ayah,” jawab Navan.
“Sepatunya juga muat sama Jovan, Ayah, om Jeffran baik banget, ya,” timbal Jovan.
Aku melihat ada yang aneh karena ekspresi Ayah yang tiba-tiba saja berubah.
“I-iya, syukurlah ...”
Ada yang aneh, tidak biasanya Ayah seperti ini. Tapi mau bagaimanapun dan apapun itu ... Jovan dan Navan mendapatkan sepatu dan baju, biar ku tebak pasti Rainan juga, lantas aku? Ah, seperti biasanya, tidak akan ada yang memberi hal-hal seperti itu kepadaku.
Sepertinya aku harus mengingat suatu hal, aku ini Azel Khaisan, bukan Ainrey Jovan, Ainsley Navan, ataupun Rainan Arham yang hidupnya lebih beruntung.