Alasan
“Kenapa Vin?” Tanya Hezekiah yang kini sudah berada di ruangan dimana Malvin di rawat.
Sudah hampir 1 bulan Malvin menjalankan kemoterapi dan juga pengobatan lainnya, untuk melawan kanker darah yang ia alami.
Keadaan Malvin semakin melemah, bahkan kini tubuhnya sangat pucat, rambut yang sudah rontok efek samping dari kemoterapi.
Malvin tersenyum tipis. “Gak ada alasan yang spesifik sih Ze, miris ya gue?”
Hezekiah tertawa mendengar jawaban Malvin barusan, bukan tawa karena lucu, namun tawa karena merasa gagal.
“Setidaknya lo jujur sama gue, saka Danial!”
“Gue mau jujur, gue gak bisa,” jawab Malvin.
“Lo anggap kita apa sih?” Tanya Hezekiah dengan nada yang mulai meninggi.
Malvin menunduk, memainkan jari-jarinya.
“Keluarga,” jawabnya pelan.
Hezekiah menghela nafas berat.
“Terus kalo keluarga kenapa lo bohong Vin?”
“Karena gue gak mau buat kalian khawatir! Gue capek Ze, di mata orang-orang gue ini superhero, panglima, kuat dan gak pernah lemah! Gue gak mau citra gue hilang karena penyakit ini!” Sahut Malvin dengan nada tinggi.
Hezekiah sedikit tersentak mendengar hal itu, ia menatap mata Malvin yang memerah dan sayu.
“Lo egois,” lirihnya.
Malvin mengangguk setuju. “Iya gue emang egois.”
“Gue pulang balik Jepang-indonesia karena pengobatan dan juga belajar main piano, sebelum mama gue meninggal mama pengen ngelihat gue bisa main piano dan juga ikut perlombaan besar di Jepang,” kata Malvin menjelaskan semuanya. “Memang papa keras nyuruh gue, tapi itu gue yang suruh supaya gue sadar ada hal yang harus gue gapai sebelum gue bener-bener mati,” sambungnya.
Hezekiah tertawa kecil, ia tidak menyangka bahwa sahabatnya kini benar-benar sudah siap menjemput ajalnya.
“Lo bohong ke Nasya?” Tanya Hezekiah.
Malvin mengangkat kepalanya menoleh dan menatap ke arah Malvin.
“Hm?”
“Lo tunangan sama Aleta.”
Malvin menggeleng. “Gue gak bohong, seharusnya gue udah tunangan sama Aleta. Papa punya banyak hutang sama keluarga Aleta, dan perusahaan papa juga sangat bersangkut dengan perusahaan papa Aleta. Papa gak punya cukup duit buat biayai pengobatan gue. Sampe—” ucapan Malvin terpotong, tiba-tiba ia terdiam.
“Sampe?”
“Sampe pas hari dimana gue ketemu ayah Nasya, gue jujur tentang segalanya. Kebodohan gue, penyakit gue, dan kesalahan yang udah gue lakuin ke Nasya,” lanjut Malvin.
Hezekiah tentu saja terkejut mendengar hal tersebut. Terkejut dan kecewa, begitu banyak rahasia yang tidak ia ketahui.
“Perusahaan ayah Nasya sukses, ayah Nasya bilang ke gue bahwa dia akan menjadi investor baru di perusahaan papa, walaupun susah, dan kemungkinan tidak bisa. Tapi pada akhirnya ayah Nasya berhasil.”
Air mata Malvin jatuh membasahi tangannya. Ia merasa sedih dan juga sakit ketika mengingat Nasya.
“Semua biaya rumah sakit juga ditanggung ayah Nasya, setelah apa yang gue lakuin ke Nasya, ayah Nasya dengan baiknya mengulurkan tangannya buat gue.”
Malvin menoleh menatap Hezekiah yang terdiam. “Dia berharap gue sembuh dan bisa hidup bahagia dengan Nasya. Tapi—”
“Tapi?”
“Gue gak bisa Ze,” ungkap Malvin dengan air mata yang semakin deras.
Hezekiah menggeleng tidak setuju.
“Gak!” Sanggahnya.
“Lo bisa, gue yakin lo bisa melawan kanker lo Malvin. Kayak yang Lo bilang, lo itu kuat seorang panglima itu kuat! Jadi pasti lo bisa!”
“Bagaimana kalo gak bisa?”
“Besok Nasya sampe ke Jepang, dia akan lomba 2 hari lagi. Gue mau lo jujur sama dia,” pinta Hezekiah agar hubungan Malvin dan juga Nasya kembali membaik.
Haruskah? Malvin takut, jika ia akan menyakiti hati gadis kecil yang sangat ia cintai.