.

Ayah itu sayang sama Ran, hanya waktunya saja belum tepat.


Tok tok

“Ran.” Maraka mengetuk pintu kamar Ran, ia sangat khawatir dengan keadaan sang adik sekarang.

“Ran ini bang Raka, buka Ran.”

Ran mendengar suara Maraka dari luar, namun ia tidak ingin membukakannya, Ran masih sangat takut.

“J-jangan, jangan pukul Ran.” Lagi-lagi Ran memohon walaupun tidak ada siapa-siapa di depannya.

Ran mengangkat pelan kepalanya, lagi-lagi ia berhalusinasi melihat sang ayah yang sedang marah besar kepada dirinya.

“Jangan!” Ran memekik dengan sangat keras dengan kedua tangan yang masih berada di telinganya.

Tubuh Ran bergetar hebat, ia kembali menenggelamkan wajahnya di antara kedua kakinya.

“Jangan, jangan pukul Ran,” gumam Ran.

Tok tok tok

“Ran kamu kenapa?” tanya Maraka dari luar sedikit berteriak.

“Ran buka pintunya.”

Karena tidak ada jawaban dari Ran, Maraka mencari kunci cadangan kamar Ran yang ada di laci meja ruang tengah.

“Untung saja ada,” monolog Maraka ketika menemukan kunci cadangan tersebut.

Dengan cepat Maraka melangkahkan kakinya menuju kamar Ran.

Ceklek

Maraka berhasil membuka pintu kamar Ran. Ketika ia berhasil masuk, begitu terkejutnya diri Maraka melihat kondisi Ran sekarang.

“Ran sayang ini abang,” ucap Maraka seraya menghampiri Ran.

Ran menangkup kedua pipi Ran, mengangkat kepala Ran agar menatap ke arah dirinya.

“Ran!” sentak Maraka ketika melihat kondisi wajah Ran yang sangat-sangat mengenaskan.

Mata sembap dan juga darah yang berasal dari hidung Ran memenuhi wajahnya.

Dengan segera Maraka mengambil tisu yang ada di meja belajar Ran, perlahan Maraka membersihkan darah yang terus mengalir dari hidung Ran.

“Jangan pukul Ran,” lirih Ran seraya menatap mata Maraka dengan mata sayu.

Selesai membersihkan darah pada wajah dan hidung Ran, Maraka mengusap pelan wajah sang adik.

Maraka menggeleng. “Gak ada yang mukul Ran,” sahut Maraka lembut.

“A-ayah,” ucap Ran.

Maraka menarik tubuh Ran kedalam pelukannya, ia memeluk erat tubuh Ran yang bergetar hebat.

“Ayah jangan pukul Ran.”

“Ayah jangan benci Ran.”

“Ayah gak sayang sama Ran.”

Setiap kalimat yang keluar dari mulut Ran membuat hati Maraka hancur, ia tidak dapat menahan air matanya.

“Sssstt, ini abang bukan ayah,” ucap Maraka seraya mengusap pelan punggung Ran agar Ran sedikit tenang.

“Ran takut.”

Maraka menarik nafas lalu menghembuskannya dengan kasar, lalu ia berkata, “Ayah itu sayang sama Ran, hanya waktunya saja belum tepat.”

Tangis Ran sedikit mereda setelah mendengar kalimat bahwa ayah sayang kepada Ran.

Ran mengangkat kepalanya menatap mata Maraka.

“Ayah sayang Ran?”

Maraka mengangguk. “Sayang,” jawabnya pelan.

“Ran mau nunggu sebentar lagi?” tanya Maraka.

Ran mengangguk. “Ran akan menunggu, Ran akan menjadi anak yang baik selama itu.”

Maraka tersenyum walaupun hatinya sangat sakit mendengar jawaban dari Ran. Ia kembali membawa Ran ke pelukannya, memeluk Ran dengan sangat erat, membiarkan Ran meluapkan emosinya di dalam pelukannya.