.
Ayah, kenapa selalu Ran yang tidak kedapatan?
Ran keluar dari kamar dan ia melangkahkan kakinya menuju ruang tengah. Dan benar saja di sana sudah ada ayah dan juga kedua abangnya.
Mata Ran seketika berbinar ketika melihat bawaan sang ayah sangat banyak.
“Wahh ayah banyak banget bawaannya,” seru Ran seraya mendekati mereka.
“Ini sepatu baru buat Maraka dan Hazel, kalo gak muat kasih tau ayah biar ayah tukarkan,” ucap Johnny.
“Makasih ayah.” Maraka meraih sepatu tersebut dan segera mencobanya.
Begitupun dengan Hazel ia juga mencoba sepatu baru yang diberikan oleh sang ayah.
Ran hanya melihat dengan senyuman yang tak luntur dari bibirnya, ia merasa senang menunggu gilirannya.
Namun Ran merasa aneh, kenapa ayah belum memberi sepatu untuknya?
“Ayah, sepatu untuk Ran mana?” tanya Ran tidak sabaran.
Tanpa menoleh ke arah Ran Johnny menjawab, “Sepatu lama kamu masih bagus, pake itu dulu. Gimana bang bagus kan?”
Ran sebisa mungkin untuk tidak melunturkan senyumannya.
“Oh iya sepatu Ran masih bagus,” lirih Ran kecil.
Ran terus melihat ke arah kedua abangnya, ia merasa sangat iri, tapi mau gimana lagi sepatu lama miliknya masih layak pakai.
“Makasih yah,” ucap Maraka dan Hazel bersamaan.
“Sama-sama.” Johnny tersenyum ke arah Maraka dan Hazel.
Ran lagi-lagi merasa iri, ayah tidak pernah memberikan senyum itu kepada dirinya.
Namun Ran berusaha mengalihkan pandangannya, ia melihat hal lain di depan Johnny.
“Ayah itu apa?” tanya Ran seraya menunjuk ke arah plastik yang ada di depan Johnny.
Johnny meraih plastik tersebut. “Ini tadi ayah gak sempet masak, jadi ayah beliin McD buat abang,” jawabnya seraya menyerahkan plastik berisikan paper bag McD di dalamnya.
Seperti biasa jika Johnny membelikan makanan mewah untuk Maraka dan juga Hazel ia akan membungkusnya lagi dengan plastik agar tidak ketahuan Ran.
Ran merasa senang karena Johnny membawa pulang makanan kesukaannya.
Namun lagi dan lagi ia tidak mendapatkan apa-apa.
“Untuk Ran gak ada yah?”
“Uang ayah gak cukup, kamu udah makan kan? Kalo belum masak telur aja sana.”
Hati Ran sangat sakit namun sebisa mungkin ia menahan untuk tidak menangis.
“Ohhh, gak apa-apa yah tadi Ran udah makan kok,” jawab Ran.
“Yasudah ayah mau istirahat dulu.” Johnny melangkahkan kakinya meninggalkan ketiga anaknya di ruang tengah.
Ran terus menatap kedua abangnya, tatapan iri dan cemburu. Namun Ran tidak punya hak untuk marah.
“Yaudah gue mau ke kamar,” ucap Hazel lalu bangun dari duduknya dan pergi melangkahkan kakinya menuju kamar.
“Nih.” Maraka menyerahkan es krim yang Johnny belikan untuk dirinya.
“Gak apa-apa untuk abang aja, itu kan punya abang,” tolak Ran.
Bukan tidak mau, hanya saja jika ayah tau Ran mengambil punya abangnya maka Ran akan dimarahin.
“Ambil, gue lagi batuk gak bisa makan es krim,” paksa Maraka.
Senyum Ran semakin melebar mendengar hal itu, dengan cepat ia mengambil es krim milik Maraka.
“Terima kasih abang! Ran masuk ke kamar dulu ya byee!” Seru Ran bersemangat.
Saat sudah di kamar Ran duduk di depan meja belajarnya, memakan es krim yang diberikan oleh Maraka tadi.
“Enak!” Ucapnya.
Namun tiba-tiba tangannya berhenti, air matanya lolos membasahi pipinya.
“Gak apa-apa Ran, uang ayah gak cukup buat beli untuk Ran,” lirih Ran sesegukan.
Ia kembali mengingat tentang sepatunya. “Ayah, sepatu Ran masih bagus karena Ran jaga itu dengan baik.”
Ran menunduk, air matanya semakin deras mengalir.
“Tapi sepatu Ran sudah sempit ayah, itu sepatu dari kelas dua SMP,” ucapnya pelan.
“Kenapa selalu Ran yang tidak kedapatan yah?” lirihnya merasa tidak adil.
Ran memukul-mukul dadanya yang terasa sakit.
“Ayo Ran semangat, ayah sayang kok sama Ran.”