.

Ayah, Ran akan selalu sayang sama Ayah.

Malam berganti pagi, suara rintik hujan yang kian memudar, membuat Johnny terbangun dari tidurnya.

Johnny belum sepenuhnya sadar, ia duduk terlebih dahulu di atas kasurnya sebelum keluar dari kamar, untuk memulai aktivitas di pagi hari.

Setelah di rasa tubuhnya sudah siap, Johnny menyibak selimut yang tadi ia kenakan agar tubuhnya tetap hangat dari dinginnya malam.

Johnny melangkahkan kakinya ke luar kamar, ia mendengar suara berisik dari dapur rumahnya. Sungguh rumahnya tidak terlalu besar, sehingga suara berisik dari satu ruangan ke ruangan lain gampang di dengar.

Perlahan Johnny melangkahkan kakinya ke dapur, ia melihat Ran, putri satu-satunya yang sedang bergulat dengan bahan masakan. Tidak mau mengganggu Johnny kembali melangkahkan kakinya, kini tujuannya adalah ke teras rumah.

Sesampainya di teras rumah, Johnny dapat melihat sepatu yang telah disusun rapi di depan pintu, iya yakin pasti ini perbuatan Ran.

Johnny melirik ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul lima lewat dua belas.

“Sepagi itu dirinya menyiapkan ini semua,” lirih Johnn pelan.

Mata Johnny tertuju pada satu sepatu berwarna putih yang ukurannya sangat kecil, ia yakin itu milik Ran.

Johnny mendengus lalu berkata, “Seandainya kamu tidak berbuat seperti dahulu Karin, maka saya tidak akan benci dengan anak perempuan kita.”

Johnny kembali mengingat kenangan buruknya bersama sang istri dulu, kenangan yang sangat buruk dan menjadi alasan Johnny membenci Ran sampai sekarang.


Ran tersenyum dengan sangat lebar, ketika ia melihat nasi goreng buatannya kini telah tersaji rapi di meja makan.

Ia hendak memanggil ayah dan kedua abangnya, namun ketika dirinya keluar dari dapur ia melihat kedua abangnya tengah berpamitan ke ayah, dan ia juga melihat ayah yang memberi uang seratus ribu untuk mereka masing-masing.

Ran memundurkan kakinya, ia kembali duduk di depan meja makan.

“Ran jangan cemburu Ran,” ucapnya sambil menepuk-nepuk kedua pipinya agar tersadar.

Ran mendengar suara derap kaki, dan benar saja ia melihat Johnny di pintu dapur. Hal tersebut membuat senyum Ran mengembang.

Johnny mendekat ke arah Ran, ia meletakkan selembar uang sepuluh ribu di atas meja makan.

“Saya cuman punya uang segitu, dicukupi untuk jajan, jangan boros. Kalau bisa sisain untuk besok,” ucapnya lalu kembali memasukkan dompetnya ke dalam saku.

Ran tersenyum sambil menatap Johnny. “Ayah mau makan dul—”

“Saya sudah telat, kamu makan sendiri saja,” potong Johnny lalu ia pergi meninggalkan Ran sendirian di sana.

Raut wajah Ran kembali menunjukkan rasa kecewanya, namun mau gimana lagi, mungkin belum saatnya ayah baik kepada dirinya.

Ran mendengus kesal. “Sepuluh ribu juga cukup kok, yang penting Ran ada uang jajan, terima kasih ayah.”

“Ayah, Ran akan selalu sayang sama ayah,” monolognya lalu menyuapkan sesendok nasi goreng yang ia masak tadi ke dalam mulutnya.


Setelah di rasa semuanya telah siap, Ran mengunci pintu rumahnya dan tidak lupa kuncinya ia taruh di dalam tas sekolahnya.

Di tangan Ran sudah ada persiapan mpls yang harus ia bawa, yaitu toga dan juga selempang wisuda yang terbuat dari kertas karton berwarna pink.

Di selempang wisuda tersebut tertulis nama lengkap Ran dan juga kelas, lalu di toga tertulis cita-cita Ran yaitu menjadi seorang dokter.

Lalu Ran melangkahkan kakinya menuju sekolah, benar, Ran ke sekolah dengan berjalan kaki, karena jarak rumahnya menuju sekolah tidak terlalu jauh.

Sesampainya di gerbang sekolah, Ran berhenti sejenak, ia melihat gerbang sekolah yang di penuhi oleh orang tua siswa yang sedang mengantar anaknya. Lagi-lagi Ran merasa iri, namun mau bagaimana lagi ayah tidak akan pernah ada di samping Ran.