bersama Rayna
Setelah membalas pesan dari Rayna, aku segera beranjak dari kasur dan membukakan pintu, benar saja ada seorang perempuan yang tingginya ... Masih tinggian aku, di depan pintu.
Tanpa salam dia masuk ke kamarku, aku semakin heran, yang aneh sebenarnya aku atau dia.
“Gak sopan,” cicitku pelan, takut dia dengar.
“Apa?” Tanya perempuan yang bernama Rayna itu, dia bertanya dengan sangat ketus, bulu kudukku berdiri seketika.
“Galak bener, lo gak sopan,” jawabku mengulang cicitan ku tadi dengan suara yang lebih lantang.
“Dih,” ucap Rayna tidak terima. “Sini lo ikut gue,” sambung Rayna sembari melangkah keluar kamar ku.
Aku menghela napas panjang, ini belum hari pertama tapi aku sudah dihadapkan dengan manusia seperti Rayna.
Sebenarnya aku malas, tapi aku tetap mengikuti langkah Rayna. Dia membawaku hingga keluar rumah.
“Mau kemana, sih?” Tanyaku sembari menyesuaikan langkah dengan Rayna.
“Keliling rumah,” jawab Rayna dengan santai. “Lo kira gue dibayar buat apa?”
Hah? Dia dibayar? Oleh siapa? Aku jadi heran sebenarnya dia ini siapa, tapi aku tidak berani bertanya.
“Nama gue Rayna, lo bisa panggil Ray, atau ...” Rayna menggantung ucapannya.
Atau apa? Atau maung? Sepertinya seru kalau aku jawab begitu, tapi aku takut duluan. Coba saja kalau dia Rainan pasti sudah kujawab.
“Panggil Ray aja lah, ribet.”
Lah, kan dia yang ribet? Lagi dan lagi aku hanya bisa menghela napas panjang.
Dia tidak bicara apapun setelah memperkenalkan dirinya, kita hanya mengelilingi halaman rumah yang begitu luas, dari halaman depan sampai kini di halaman belakang.
Sangat indah rasanya mataku begitu dimanjakan, ada taman yang dipenuhi dengan bunga-bunga dan patung, tentu juga tidak lupa dengan kolam berenang yang luas, dan aku tertarik dengan satu hal, yaitu rumah pohon yang tidak jauh dari tempatku berada.
“Lo hapal biar enggak kesasar nanti, by the way lo dari panti asuhan mana?” Tanya Rayna setelah lama bungkam.
Aku sedikit mengangkat alis karena sedikit aneh ketika Rayna jadi sedikit ramah seperti ini.
“Panti asuhan Harapan dan Kasih,” jawabku.
“Oh.”
“Lo tau?”
“Kagak.”
Aku hampir tersedak air liurku sendiri, aku kira dia tahu saat mendengar tanggapannya yang sombong seakan-akan tahu.
“Padahal gue hapal panti asuhan di kota ini,” katanya terdengar sombong.
Katanya hapal tapi buktinya dia tidak tahu panti asuhan tempatku berasal. apa panti asuhan tempatku berasal yang tidak terkenal?
“Sebutin,” tantangku.
Dia menghentikan langkahnya tepat di depan kolam renang, aku pun mau tidak mau harus menghentikan langkahku.
Di luar ekspektasi, Rayna benar-benar mengucap beberapa nama panti asuhan, ada sekitar sepuluh nama, tapi tidak pernah terdengar olehku sebelumnya.
“Itu beneran panti asuhan?” Tanyaku, aku menatap dia sejenak.
Rayna menoleh menatapku sembari memiringkan kepalanya, lalu dia menjawab, “Enggak, gue ngarang.” Lalu dia pun kembali melangkahkan kakinya.
Ingin sekali aku mengumpat, tapi rasanya aku harus menahan diri. Tidak hanya ingin mengumpat, aku juga ingin mendorong dia ke dalam kolam renang sekarang juga.
Setelah mengelilingi rumah yang begitu besar, perutku terasa lapar, aku juga sudah disuruh makan oleh maid yang ada di rumah itu.
Rasanya aneh, karena aku hanya sendirian, aku ingin menunggu Mama dan Papa, tapi katanya tidak usah, karena kemungkinan mereka akan pulang malam dan sudah makan di luar.
Makan malam terasa sangat aneh walaupun hidangan yang dihidangkan begitu menggiurkan dan enak. Rasanya aneh dan begitu sepi. Kalau dulu setelah makan akan ada omongan antara aku dan saudara-saudara ku bahkan Ayah, sekarang sudah tidak.
Biasanya aku akan mendengar Rainan, Jovan dan Navan akan menyombongkan diri dengan barang-barang pemberian dari donatur, sekarang tidak ada.
Aku harus bersyukur, kan? Karena aku tidak perlu lagi sakit hati. Tapi, nyatanya sangat aneh.