birthday

Ulang tahun kali ini bertepatan satu hari setelah pembagian raport semester akhir. Seperti biasa Alaska menempati juara satu paralel di angkatannya.

Bukan suatu hal yang membuat terkejut, apalagi bagi Alea. Dan juga bukan satu alasan untuk Alea bersedih karena dirinya hanya bisa mendapatkan juara lima belas di kelas—bahkan biasanya Alea hanya akan menduduki juara dua puluh di kelasnya.

Alea sama sekali tidak marah, ataupun iri. Karena ia tahu perbedaan perjuangan antara dirinya dan juga saudara kembarnya itu. Alaska mati-matian untuk belajar, sedangkan Alea, mati-matian ingin mati.

Bukan candaan, bahkan saat ini ia sedang berpikir bagaimana agar ia tidak bertemu dengan hari ulang tahunnya di tahun depan.

Alea sedang menyelesaikan rubik yang ada di tangannya, ia bisa menyelesaikan rubik itu dalam waktu lima menit. Lumayan, setidaknya Alea bisa menyelesaikannya.

Ia baru saja hendak menuju kasurnya untuk merebahkan tubuh yang serasa sangat lelah. Namun, hal itu harus ia urungkan karena suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Sudah dapat dipastikan Alaska lah yang mengetuk pintu.

Alea menghela napas panjang sebelum ia melangkah menuju pintu kamarnya. Dugaan Alea pun benar, Alaska lah yang kini ada di hadapan pintu kamarnya, setelah ia membuka pintu tersebut.

“Kenapa?” tanya Alea tanpa basa-basi.

Alaska menatap Alea dengan tatapan dingin seperti biasanya. Tatapan seperti enggan menatap mata adik sekaligus saudara kembarnya itu.

“Papa udah pulang. Papa nunggu kita di ruang tengah,” jawab Alaska juga sama tanpa basa-basi.

Alea kembali menghela napas panjang. Ia sedikit malas saat mendengar seseorang itu disebutkan, apalagi di hari ini—hari ulang tahunnya.

Namun, Alea sama sekali bukan anak durhaka, ia pun segera menutup pintu kamarnya dan melangkah melalui Alaska menuju ruang tengah rumah sederhana mereka.

“Gue janji nggak akan omongin soal peringkat kita di sekolah,” kata Alaska sembari memutar tubuhnya menatap punggung Alea yang kian menjauh.

Alea hanya mengacungkan jempol, tanpa membalas ucapan Alaska. Lagian mau tidak diomongin pun, orang itu akan tahu hasilnya. Dan akan sama saja dampaknya kepada Alea, ujung-ujungnya Alea akan diacuhkan.

Sesampainya di ruang tengah, Alea tidak hanya melihat Papanya di sana, ia juga melihat Iriana—sang nenek— dan juga Raihan—sang paman.

Alea duduk di sofa yang berhadapan dengan Iriana dan juga Raihan, juga dengan Alaska yang menyusul duduk di samping Alea.

Di sofa samping kiri Alea serta samping kanan Iriana, terdapat sofa single yang diduduki oleh papanya —Jeorome.

Mata Alea dan juga Alaska sama-sama tertuju ke arah meja yang ada ada di hadapan mereka. Di sana terdapat sebuah kue ulang tahun dengan enam belas lilin kecil di atasnya. Hanya ada satu kue dan hanya ada enam belas lilin, sedangkan yang ulang tahun hari ini ada dua orang anak yang akan menginjak usia enam belas tahun.

“Hasil raport kalian gimana, Ka, Le?” tanya Iriana memecahkan keheningan di antara mereka.

Alea tersenyum kecil, berbeda dengan Alaska yang mulai memasang muka panik.

“Kak Alaska dapat peringkat satu lagi di angkatannya,” jawab Alea mewakilkan Alaska yang tidak mungkin mengingkari janjinya tadi.

Mata Alea dengan cepat menangkap ekspresi dari Iriana, Raihan, bahkan Jeorome. Mereka sama-sama tersenyum, namun tidak dengan Jeorome, lelaki itu hanya menatap Alaska dengan tatapan yang tidak tahu harus diartikan dengan apa.

“Kalo kamu, Le?” Kini Raihan lah yang bertanya.

“Lima belas dari dua puluh murid di kelas,” jawab Alea tanpa menunjukkan kekecewaan di wajahnya.

Ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Iriana sangat berbeda, namun ia berusaha untuk mempertahankan senyumnya. Dan Jeorome, bahkan ia tidak memalingkan matanya sedikitpun kepada Alea.

“Nggak apa-apa, meningkat dari semester lalu. Dipertahankan, ya, Le. Kalau bisa ditingkatkan,” ucap Raihan, seperti ingin memberikan suasana hangat di sana.

Alea hanya menjawabnya dengan anggukan.

“Yasudah kalau begitu ayo kita rayain ulang tahunnya, juga kita rayain atas kerja keras kalian untuk mendapatkan peringkat itu,” ucap Raihan kemudian mulai menyalakan lilin yang menancap di atas kue ulang tahun itu.

Alea sedikit melirik Alaska yang di hadapannya, Alaska seperti tidak tenang, takut, dan marah. Namun tidak tahu alasannya mengapa.

Tidak ada nyanyian dan juga kegembiraan di sana. Sama sekali tidak menunjukkan suasana perayaan.

“Di hari ulang tahun kalian ini, apa yang kalian harapkan?” tanya Iriana kepada Alea dan juga Alaska.

Kalimat itu bukan hanya pertanyaan, tapi juga kalimat untuk Alea dan juga Alaska memulai untuk menyebutkan harapan mereka di dalam hati.

Alaska mengepal kedua tangannya sambil memejamkan mata. Berbeda dengan Alea yang hanya diam seperti tahun-tahun sebelumnya.

“Alaska, selamat.” Kalimat pertama yang Jeorome ucapkan setelah sekian lama membungkam.

Kalimat itu mungkin sangat berarti bagi Alaska, namun sangat menyakitkan bagi Alea.

“Terima kasih, Pa. Alaska bakalan selalu berusaha jadi yang terbaik,” jawab Alaska dengan senyuman tipisnya.

“Tiup lilinnya, itu hadiah dari saya. Buat kamu.”

Alea tidak salah dengar, kok. Alea sangat sangat yakin dan juga tidak terkejut sama sekali.

Alaska mengangguk sebelum itu ia menatap Alea, Alea pun ikut mengangguk kecil. Lalu, tanpa menunggu lagi, Alaska meniup keenam belas lilin itu hingga padam sepenuhnya. Padamnya lilin itu dibarengin dengan suara tepuk tangan dari Iriana dan juga Raihan.

“Alea kenapa nggak tiup lilin? Om nyalain lagi, ya?” Raihan hendak menyalakan lagi lilin yang terlihat sudah sangat pendek itu.

“Nggak usah!” Dengan cepat Alea menahan dengan suara sedikit lantang nan keras. “Nggak perlu ada yang dirayain. Lilinnya cuman ada enam belas, berarti cuman ada satu orang yang bakalan nginjak usia enam belas tahun, tahun ini. Dan itu Kak Alaska.”

Alea bangkit dari duduknya membuat semua yang ada di sana menatapnya.

“Sedangkan Alea? Alea udah lama mati. Cuman tubuh Alea aja yang nggak ditanam. Ya, kan, Pa?”

“Alea!” pekik Jeorome dengan nada tinggi.

“Kenapa, Pa? Papa mau marah? Silahkan, Pa. Harusnya Alea yang marah. Kenapa setiap ulang tahun Alea sama Kak Alaska, cuman Kak Alaska yang dirayain? Iya, kita kembar, tapi Alea juga mau dapat kue sendiri di hadapan Alea dengan lilin baru, bukan bekas.” Mata Alea mulai berkaca-kaca, namun ia tidak ingin menangis, ia tidak mau kelihatan lemah, apalagi dihadapan Alaska.

“Karena enggak mungkin saya ikut merayakan ulang tahun kamu, kalau di hari itu—”

“Kalau di hari itu hari yang sama dengan kematian! Ya. Bukan cuman kematian mereka, tapi juga kematian jiwa Alea,” potong Alea dengan cepat.

“Alea!” Iriana yang sedari diam mulai tidak bisa menahan emosinya karena ucapan Alea.

“Jangan kamu bawa-bawa kematian dengan begitu mudahnya, Alea,” sambung Iriana.

Alea tertawa kecil, lalu berkata, “Tapi kenyataannya memang gitu, 'kan, Pa? Papa enggak pernah mau Alea rayain ulang tahun Alea, karena Mama meninggal saat melahirkan Alea. Padahal, Kak Alaska juga lahir dari rahim yang sama di hari yang sama, enggak pernah tuh dapat tatapan benci dari Papa?”

“Alea ...,” tegur Alaska, ia mulai menenangkan adiknya itu. Namun semua sia-sia saja.

“Kenapa, Pa? Karena yang lahir terakhir Alea? Kalau yang terakhir lahir Kak Alaska, Papa bakalan begini? Atau ..., kalau yang mati Alea, bukan Mama, Papa begini?”

Jeorome yang ditanya hanya dapat diam. Menahan emosi dan juga memikirkan jawaban apa yang harus ia katakan.

“Jawabannya enggak, kan, Pa? Karena bukan kematian yang Papa benci. Tapi Alea. Papa benci Alea.”

Tanpa menunggu jawaban apapun dari orang-orang yang ada di sana, Alea berlari menuju kamar, bukan kamarnya, melainkan kamar seseorang yang selalu ia gunakan kala ia mengalami hal yang sama. Sedih dan juga marah.