#

Butuh waktu lama agar aku diizinkan masuk ke dalam rumah pohon milik Rayna. Tapi, akhirnya aku pun masuk setelah berdebat panjang dengan Rayna.

Aku takjub dengan isi rumah itu, tidak terlalu besar tapi tidak terlalu kecil juga. Terasa begitu nyaman, apalagi dilengkapi dengan projector yang kini sedang menyala. Rayna sedang menonton film netflix, tidak pernah aku duga.

Setelah mengizinkan aku masuk Rayna kembali lagi ke kasur kecil miliknya dan kembali fokus dengan tayangan film yang terus berjalan. Aku memilih untuk diam dan duduk saja, entah mengapa setiap di samping Rayna nyali ku meredup.

“Gue tahu maksud lo sekarang,” kataku memecahkan keheningan setelah film yang ditonton Rayna selesai.

“Apa?” Sahutnya.

Aku tersenyum untung saja dia tidak mengacuhkan ku.

Good luck and belajar. Gue tahu sekarang.”

Terdengar Rayna menghela napas panjang, sebelum dia menoleh dan kini dia menatapku.

“Yang mana, ya? Gue amnesia.”

Wah ... Aku lupa kalau sekarang sedang berhadapan dengan siapa. Sangat mengesalkan, bahkan raut wajah yang dia tunjukan, begitu mengesalkan.

Aku mendecak kesal. “Lo kenapa?”

“Gue? Gue kenapa?”

“Ray—”

“Gue nggak apa-apa.” Dia memotong kalimat yang belum sempat keluar dari mulutku.

Aku hanya bisa menghela napas panjang.

“Gue percaya, lo, Ray. Setidaknya karena lo, gue aman di sini, entah kenapa?”

Rayna tertawa kecil. Mungkin karena ucapanku yang sedikit ngelantur, ya. Aku saja tidak tahu kenapa tiba-tiba mengucapkan hal itu.

“Memang harus, percaya sama gue. Jangan batu.”

Aku tertawa kecil sambil menggelengkan kepalaku. Sepertinya dia sudah kembali seperti yang Rayna yang kulihat pertama kali.

Bahkan sekarang dia sedang mengomel panjang lebar, tentang aku tidak boleh ini, dan itu. Dia memperingati semuanya, sampai akhir kalimatnya dia berkata, “Jangan sampe gila aja nanti, kayak gue.”

Aku tidak paham dengan apa yang dia katakan. Tapi, ingin sekali aku bertanya apa maksudnya, dan bertanya dia sebenarnya siapa, dan apa yang terjadi kemarin dan hari ini kepadanya. Tapi aku sadar bukan ini saatnya, terlebih hubungan kami yang belum begitu dekat, dibilang teman saja sepertinya bukan.

Namun ada satu hal yang harus aku katakan kepadanya. “Ray ... Thanks, udah ingetin gue, kalau gue sekarang adalah Azel Khaisan Adhitama.”


Malam ini aku tidak ada jadwal seperti malam kemarin, harus berhadapan dengan Papa setiap malamnya. Tapi, aku harus berhadapan dengan dunia baru lagi, yaitu dunia musik.

Aku sedang diantarkan menuju tempat les piano ku. Padahal waktu sudah menunjukkan jam delapan malam.

Mobil yang aku tumpangi memasuki sebuah pekarangan rumah, yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil juga. Mobil itu berhenti tepat di belakang sebuah mobil juga. Aku pun turun dari mobil itu, tidak lupa aku bawa backpack ku yang beberapa buku, serta beberapa buku catatan mata pelajaran hari ini, jaga-jaga kalau nanti sepulang dari sini aku akan berhadapan dengan Papa lagi.

Aku dibawa masuk ke rumah itu, aku menduga kalau itu adalah bukan hanya sekedar rumah, tapi juga tempat les piano. Mungkin ada beberapa murid lainnya di dalam sana, syukurlah kalau begitu, setidaknya aku tidak sendiri.

Entah kenapa aku sangat gugup, sangking gugupnya bibirku terasa kering. Aku mengikuti langkah seorang pria sebut saja dia Damian, dia yang selalu mengantarkan ku ke sekolah dan kemana saja.

Sampai kita akhirnya tiba di depan pintu rumah itu. Pintu itu terbuka menampakkan seorang pria tua mungkin umurnya sama dengan Papa. Dia menyambut aku dan Damian dengan begitu ramah.

“Kamu Azel?” Tanyanya.

Aku pun mengangguk dan memberikan senyuman ramah.

“Saya Azel Khaisan Adhitama, salam kenal.”

Dia ikut tersenyum kemudian merangkul ku ke dalam, anehnya Damian tidak ikut ke dalam. Aku dirangkul hingga sampai ke ruang tengah, aku berhadapan dengan seseorang yang sepertinya aku kenal.

Bukan sepertinya, tapi aku memang begitu mengenal dia. Segera aku berbalik badan untuk memastikan.

“Rainan!” Seruku memanggil nama dia.

Ya, aku yakin dia adalah Rainan, sahabat serta saudara ku dulu di panti asuhan. Aku yakin aku tidak keliru. Wajahnya sangat sama, bedanya dia terlihat murung sekarang.

Anehnya dia tidak menoleh, apa ada yang salah? Aku yakin kalau dia itu Rainan. Bahkan sampai dia keluar dari pintu pun dia tidak menoleh.

Aku yakin dia Rainan, tapi aku tidak yakin dia adalah Rainan yang dulu. Rainan yang selalu mendengarkan panggilanku walau dia tahu aku akan jahil kepadanya.