— cake
“Ayah nggak capek dorong kursi roda, Ran? Ran udah bisa jalan kok, Ayah,” kata Ran, sedikit tidak enak hati karena Johnny terus mendorong kursi roda Ran, ketika Ran hendak kemana-mana.
Kondisi Ran memang sudah membaik, hanya saja dia kehilangan indera penglihatannya. Tapi, Ran harus menggunakan kursi roda kalau mau jalan jarak jauh, selain mudah, kaki Ran juga sering nyeri sendiri.
“Kalau kamu bolehin, udah Ayah gendong aja, Nak,” jawab Johnny.
Hanya mendorong kursi roda sama sekali tidak membuatnya lelah. Lelah Ran selama ini lebih daripadanya. Ini yang Johnny lakukan untuk menebus semua dosa-dosanya, walaupun Johnny tau tidak akan sirna begitu saja. Dosa yang telah dia buat terhadap anaknya begitu besar.
“Nggak mau lah. Kata Fito, Ran gendut, terus berat. Kasihan Ayah.”
Johnny tertawa mendengar pengaduan Ran. Ah, iya, Fito. Fito selamat dalam kecelakaan itu. Keadaannya tidak terlalu parah, karena Ran yang melindungi Fito saat itu.
Dan Fito semakin dekat dengan Ran dan keluarga Ran. Bahkan Johnny menyuruh agar Fito memanggilnya dengan sebutan 'Ayah' juga. Awalnya Fito menolak, karena dia terlanjur benci dengan sebutan itu. Tapi berjalannya hari, dan perlakuan Johnny yang begitu baik kepadanya, Fito luluh.
“Ayah terima kasih,” ucap Ran tiba-tiba.
“Kenapa terima kasih?”
“Nggak tau, Ran sayang Ayah.”
Johnny mengelus pucuk kepala Ran gemas. Ran sering mengatakan kalimat aneh setiap menitnya, karena sindrom dory yang Ran derita. Untung saja Ran sudah terawat sekarang, Ran menjalani pengobatan demi pengobatan.
Darimana uangnya? Johnny bekerja keras tanpa mengenal lelah dan waktu, semua untuk Ran. Dan juga dua anak laki-lakinya lagi. Untung saja Maraka sekarang sudah berkuliah, mendapatkan full beasiswa, seperti keinginannya. Bahkan Maraka juga bekerja walaupun upah yang didapat tidak banyak.
Lalu Hazel, sekarang dia sudah menginjak kelas dua belas SMA. Hazel berhasil menjadi seorang selebgram kalau kata anak muda sekarang. Dia juga mendapatkan uang dari itu. Karena itu, pengeluaran Johnny tidak terlalu terbebani. Dia bisa fokus membiayai pengobatan anak gadis satu-satunya.
“Itu Fito,” ucap Johnny, ketika dirinya melihat Fito yang sudah tiba di lapangan kosong. Lapangan yang selalu mereka datangi kala sedih.
Ran tidak bisa melihatnya tapi Ran tetap tersenyum senang kala mengetahui jaraknya sudah dekat dengan Fito.
Ternyata disana sudah ada Mamanya Fito juga, membantu Fito untuk duduk di rumput lapangan, dengan beralasan kain segi empat. Johnny mempercepat langkahnya, menghampiri Fito dan juga Mama Fito.
“Ran!” Seru Fito ketika kursi roda gadis itu sudah ada di hadapannya.
“Halo Fito!” Ran meraba-raba, mencari keberadaan Fito.
“Fito di bawah, Nak. Mau duduk di bawah?”
“Mau Ayah!”
Johnny pun mengangguk, lalu mengangkat tubuh Ran, dan meletakkan perlahan di atas kain yang sama dengan Fito. Kain itu lumayan lebar. “Yaudah Mama sama Pak Johnny tunggu di sana, ya?” Ucap Mamanya Fito, disahut anggukan oleh Fito dan Ran.
Tinggallah Fito dengan Ran di sana. Ran masih meraba-raba keberadaan Fito, untung saja mereka duduk berdekatan. Jadi, Fito tidak susah meraih tangan Ran yang masih meraba-raba.
“Aku di sini,” katanya, seraya meraih tangan Ran.
Ran tersenyum ketika tangannya digenggam oleh Fito.
“Fito bawa cake nya, kan?”
Fito mengangguk. Sebenarnya tidak ada hari spesial hari ini, hanya saja saat Ran merayakan ulang tahun saat itu, Fito tidak ada. Jadi, hari ini Fito membayar semuanya.
“Aku bawa, Ran. Cake sama hadiah buat kamu.”
“Asik!” Ran berseru kesenangan. Bola matanya bergerak liar, walau mata itu tidak dapat melihat lagi. Ran tidak dapat menahan senyumnya, dia begitu senang tentu saja.
Sama dengan Ran, Fito juga tidak dapat menahan senyumnya. Dia senang melihat Ran terus tersenyum seperti itu. Ah, sebenarnya cake ini bukan hanya untuk merayakan ulang tahun Ran yang sudah lewat. Ada tujuan lain yang hanya Fito ketahui.
“Kalau senyum gitu, nggak nampak galaknya.”
“Emang Ran galak?” Tanya Ran sewot.
“Ha ha ha, galak terus bawel dikit.”
Ran memanyunkan bibirnya, kesal dengan candaan Fito. Padahal candaan itu sudah berulang kali Ran dengar, tapi tetap saja mengesalkan.
“Kamu mau potong cake ini?”
“Mau!”
“Tapi janji dulu sama aku.”
“Apa, Fito?”
Fito terdiam sejenak sebelum kembali berucap. Alasan lain dia mengajak Ran untuk potong cake—makanan kesukaan Ran.
“Cake ini aku kasih untuk kamu, tapi senyum itu harus terus ada untuk aku, ya?”
Setelah kejadian yang menimpa mereka, tentu tidak mulus seperti itu saja. Ran memang mendapatkan perhatian sang Ayah. Ran berhasil membuat sang Ayah menyesal. Tapi Ran kehilangan indera penglihatannya, Ran kehilangan kesempatan untuk sekolah dan harus merelakan cita-citanya menjadi seorang dokter.
Sering sekali Ran menangis ketika dia bangun dari tidurnya. Menangis bahkan berteriak begitu kencang. Karena panik, tidak bisa melihat apa-apa.
Ran sering murung kala Fito datang untuk menemaninya. Ran sering menghabiskan waktu dengan diam.
Ran kehilangan dirinya yang dulu.
“Jangan lagi ada Ran jelek, Ran cemberut setiap pagi.”
Ran hanya diam mendengarkan Fito.
“Ran udah berhasil. Ayah udah sayang sama Ran. Ran udah sampai ke titik bahagia, Ran. Semua sayang sama Ran.”
Fito menggenggam tangan Ran semakin erat. Sesekali mengusapnya.
“Ayah, Abang kamu, aku. Jadi Ran nggak boleh sedih lagi, ya?”
Ran mengangguk pelan. “Iya, Fito.”
“Dulu Ran selalu semangat apapun yang Ran hadapin. Sekarang harus juga, ya?”
“Walaupun Ran nggak bisa lihat lagi?”
“Iya. Kan ada aku, aku akan jadi mata kamu.”
“Tapi Ran nggak bisa jadi kaki Fito lagi.”
Ran menundukkan kepalanya, dia menjadi sedih seketika.
“Aku laki-laki, jadi aku akan jadi laki-laki yang bertanggung jawab sepenuhnya. Aku jadi mata kamu, aku jadi kaki kamu. Apapun caranya.”
Fito mengarahkan tangan Ran, mengambil pisau plastik untuk memotong cake. Lalu dia arahkan pisau itu untuk memotong cake yang ada di tengah-tengah mereka.
“Cake ini aku kasih untuk kamu, sekarang coba senyum.”
Tanpa disuruh dua kali, Ran mengembangkan senyumnya. Senyum yang dulu dipalsukan, dan terlihat begitu menyakitkan Sekarang jadi senyum yang sangat hangat.
“Senyum itu untuk aku. Terima kasih, Ran.”
“Terima kasih juga, Fito!”