Card

“Lo mau kerjain bagian mana, Al?” tanya Danita saat mereka sudah tiba di perpustakaan.

Atha berfikir sejenak, lalu menjawab, “Memang ada bagian ngapain aja?”

“Kalo gue sih biasanya bakalan nyelesaikan soalnya, Freya nyari-nyari buku gitu, terus ngeprint, udah deh.”

Atha mengangguk paham. “Gue bagian ngeprint aja.”

“What! Omo, Jinja?” pekik Freya tidak percaya dengan jawaban dari Atha barusan. “C'mon Ale, dimana-mana tuh kalo kerja kelompok ada yang ngerjain ppt, word, nyelesaikan soal, lo milih ngeprint?”

Tanpa ada rasa bersalah Atha mengangguk. “Butuh hard copy, kan?”

“Ya, tap—”

“Gak terima? Yaudah gue tinggal nyari kelompok lain.”

Saat Atha hendak beranjak, dengan segera tangannya ditahan oleh Danita.

“Eh, iya lo bagian ngeprint aja,” ucapnya berusaha untuk menahan Atha.

Atha kembali duduk dan mengangguk. “Ya.”

Kini ketiga gadis itu sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing, Danita yang sedang berkutik dengan laptop dan Freya yang sedang pusing dengan buku-buku dihadapannya. Lain halnya dengan Atha, karena tugasnya adalah mengprint, jadi sekarang ia memilih sibuk dengan buku gambar yang ada ditangannya.

“Lo lebih milih menggambar ketimbang bantuin kita ngerjain tugas? Omo!” seru Freya saat pandangannya tertuju pada Atha.

Atha hanya diam bahkan matanya tidak beralih untuk sekedar menatap Freya yang sedang mengoceh kesal.

“Udah, it's okey lagian udah biasa kita cuman berdua, kan?” bisik Danita pelan ke Freya, berhasil membuat Freya diam walaupun ia masih kesal.

Dua jam mata pelajaran fisika telah selesai, tepat Danita dan Freya menyelesaikan tugas kelompok mereka.

“Nih, Al,” ujar Danita seraya menyerahkan flashdisk yang berisikan file yang akan di print.

Atha yang sedari tadi sibuk dengan dunianya sendiri, kini menoleh menatap Danita, tak lupa ia mengambil flashdisk yang Danita serahkan.

“Oke, gue nitip buku, ya, letakin di kelas.”

“Aman, kok.”

Tanpa menunggu lama Atha beranjak menuju koperasi sekolah. Untung saja jaraknya tidak jauh dari perpustakaan, jadi ia tidak terlalu capek berjalan.

“Pak ngeprint, filenya tugas fisika tiga,” kata Atha setibanya di koperasi.

“Oke, kamu anak baru, ya?” tanya bapak koperasi yang sedang sibuk dengan komputer yang ada di hadapannya.

Atha dibuat bingung oleh bapak koperasi, kenapa dirinya bisa tau kalau Atha murid baru di sana.

“Soalnya kamu manggil saya bapak, biasanya murid di sini manggil saya, kak. Nama saya Atuy, panggil saja Atuy,” jelas kak Atuy kepada Atha yang hanya diam mencerna semua penjelasan dari Atuy.

“Oke, kak.”

“Nih.” Atuy menyerahkan lima belas lembar kertas tugas kelompok Atha dan juga flashdisknya tentu saja.

Atha meraih kertas-kertas tersebut, lalu ia mengeluarkan dompet kecil yang ada di saku kemejanya. “Berapa, ya, kak?'

“Berapa?” Atuy kebingungan.

“Iya ...., berapa?” Atha tak kalah kebingungannya.

“Nih, kak, pakai punya gue aja.” Suara berat tiba-tiba menghampiri Atuy dan Atha yang sedang kebingungan.

“Nah pas banget lo, Val. Macam pahlawan kesiangan.”

Murid laki-laki bernama Valen itu hanya menjawab dengan senyuman. Valen melirik Atha yang masih diam.

“Memang magnet gue sama dompet gue deket banget,” ujar Valen.

Atha teringat sesuatu, ia mengeluarkan sebuah card yang ada di saku kemejanya. “Kak, makudnya card yang ini, ya?” tanya Atha.

Atuy mengangguk mantap. “Iya, tuh ada tadi kenapa bingung.”

Atha membulatkan bibirnya sambil mengangguk paham. “Kalo gitu pake punya saya aja, kak.”

“Telat dek, ini udah selesai saya scan, nih bro,” jawab Atuy seraya mengembalikan card milik Valen.

Valen hanya tersenyum, senyuman yang membuat Atha kesal.

Atha membalikkan badannya hendak kembali ke kelas, langkah Atha diikuti oleh Valen.

“Kalo udah dibantuin itu ucap makasih kek,” ucap Valen yang kini berjalan sejajar dengan Atha.

Thanks.”

Atha mempercepat jalannya, tiba-tiba ia meringis, “Arghh, sakit!” Tangan Atha ditarik kasar oleh Valen.

“Balikin dompet, gue,” pinta Valen. Raut wajah Valen berubah menjadi dingin dan tatapan matanya menjadi sangat tajam.

Atha mendengkus kesal. “Gue .... Gak ambil dompet, lo, gak usah kepedean!”

Valen mendecih, tangannya semakin kuat mencengkram tangan Atha. “Lo harus tau, lo lagi berurusan sama siapa,” ucap Valen diiringi dengan seringai mengancam.

I don't fucking care.” Atha menghentakkan tangannya dengan sangat kuat hingga terlepas dari cengkraman Valen.

Valen hanya bisa tersenyum melihat punggung Atha yang perlahan menjauh.

“Menarik.”


“Nih.”

“Oke, gue kumpul dulu, ya, terima kasih, Al.”

Danita pergi meninggalkan Freya berdua di kelas, sedangkan murid-murid yang lain sudah dipastikan di luar sedang menikmati jam istirahat mereka.

“Frey,” panggil Atha.

“Neeeeeeeeeeeee,” sahut Freya seperti biasa dengan suara yang menyebalkan.

Atha mengeluarkan card yang bertuliskan student card dari saku kemejanya. “Ini bukannya card buat akses masuk sekolah?” tanya Atha.

“Yap, Majja! Itu student card jadi biasanya sebelum masuk ke sekolah kan kita disuruh tap tap card itu dulu, nahk itu kegunaannya supaya yang masuk ke sekolah kita bukan orang luar, gitu,” jawab Freya menjelaskan kegunaan dari student card.

“Terus ini bisa dipake buat di koperasi?”

Freya mengangguk, pandangannya yang tadi fokus kepada handphone, kini beralih menatap Atha. “So, semua fasilitas yang ada di sekolah kita itu gratis, kalo kita itu bener-bener murid dari sekolah ini, syaratnya ya cuman card itu, tinggal tap tap, all done! Lo tadi gak bayar pake cash, kan?” tanya Freya mulai mencurigai Atha.

Tidak mau merasa malu, Atha memilih untuk diam saja, namun tatapan dari Freya membuat dirinya canggung.

“It's okay, gue dulu juga gitu, kok. Gak baca buku arahan dulu, jadi bingung, kok serba tap tap, oh ternyata oh ternyata .... Gue pikir beneran gratis tau, Al.”

“Emang?”

“Ya, enggaklah, kita bayar melalui SPP bulanan yang hampir puluhan juta ratusan juta!”

Atha hanya mengangguk dan tersenyum, ia menyesal telah bertanya kepada Freya, karena kini ia harus mendengar segela ocehan yang keluar dari mulut Freya sebagai bayarannya.