.
Dengan sekuat tenaga Sandy berusaha mendobrak pintu kamar Embun. Walaupun di rada tangannya sudah sangat sakit—namun ia tetap mendobrak pintu kamar tersebut.
Hujan sedari tadi hanya menangis, ia terus-menerus berdoa agar sang kakak tidak macam-macam di dalam sana. Jujur Embun sangat khawatir, terlebih ketika ia mendengar suara teriakan Embun dari dalam.
Brakk
Finally!
Sandy berhasil membuka pintu kamar Embun. Dengan cepat ia dan Hujan masuk ke dalam, begitu terkejutnya mereka ketika sampai di dalam sana.
Kaki Hujan melemah ketika melihat keadaan sang kakak— begitu juga dengan Sandy, ia terdiam untuk beberapa saat.
Embun tergelatak lemah dengan daerah yang berceceran dimana-mana. Darah tersebut berasal dari tangan Embun.
Sandy juga dapat melihat sebuah pisau yang tergeletak tidak jauh dari tangan Embun.
Sandy menghampiri Embun, mengangkat tubuh Embun meletakkannya kepala Embun di tangan kirinya sebagai tumpuan— dan tangan kanan yang ia gunakan untuk mengelus wajah Embun.
Mata Embun sangat sembab, dan merah. Wajahnya basah karena keringat dan juga air mata.
Darah dari kedua tangan Embun tidak berhenti keluar, entah apa yang ada di pikirannya. Kenapa ia senekat ini?
“Hujan,” panggil Sandy dengan lembut ke Hujan.
Hujan yang masih sangat shock, ia tidak menghiraukan panggilan dari Sandy, ia menatap takut tubuh lemah sang kakak yang ada di tangan Sandy.
Sandy menghela nafas, ia berusaha setenang mungkin.
“Hei, look at me, kamu ambil kain apapun itu ya? Tolong kakak,” suruh Sandy.
Hujan mengangguk, dengan langkah gontai dan panik ia menuju ke lemari Embun, ia meraih kain panjang yang di dalam sana.
Dengan cepat Hujan menyerahkan kain tersebut ke Sandy. Tangan Hujan bergetar hebat, ia sangat takut melihat kondisi sang kakak sekarang.
Sandy meraih dan menerima kain yang di berikan Hujan. Ia menutup kedua tangan Embun menggunakan kain tersebut.
“Hujan bisa nyetir?” Tanya Sandy ke Hujan.
Hujan menggeleng. “Hujan gak bjsa,” Jawab Hujan dengan suara yang bergetar.
Mendengar hal tersebut Sandy sedikit kebingungan, ia kembali melihat Embun yang makin melemah.
Sandy mengeluarkan kunci mobilnya dari saku celana. “Ini nanti sampe di parkiran kamu bukain pintu ya? Biar kakak yang masukin kak Embun ke mobil, kamu nemenin kak Embun di belakang ya?” Ucap Sandy seraya menyodorkan kunci mobilnya.
Dengan perasaan ragu Hujan mengambil kunci tersebut, ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
“Iya kak.”
Sandy menggendong Embun menuju parkiran apartemen. Di ikutin oleh Hujan di belakangnya.
“Itu mobil kakak, bukain pintunya Hujan,” Pinta Sandy menyuruh Hujan.
Dengan cepat hujan menekan tombol yang ada kunci mobil Sandy. Setelah mobil tersebut berbunyi menandakan kuncinya berhasil terbuka, Hujan dengan segera membuka pintu belakang mobil.
Sandy memasukkan dan menidurkan Embun di bangku penumpang secara perlahan. Embun telah kehilangan kesadaran total, Sandy sangat panik namun iya berusaha menahannya.
Hujan berlari dan masuk ke mobil melalui pintu sebelah, ia meletakkan kepala sang kakak di pangkuannya.
Hujan tidak bisa menahan tangisnya, namun ia berusaha nahan agar air matanya tidak membasahi pipi sang kakak.
“Kak Sandy selamatin teh Embun ya,” Pinta Hujan menatap mata Sandy dengan penuh harapan.
Sandy tersenyum lembut, ia menutup pintu mobil belakang, lalu segera beralih ke kursi pengemudi.
Sandy melirik sekilas keadaan Hujan melalui kaca depan mobil.
“Kak Embun akan selamat, sekarang Hujan berdoa jangan berhenti oke?”
Hujan paham, ia mengangguk. Lalu ia memejamkan matanya, berdoa dengan sungguh-sungguh agar sang kakak di beri keselamatan.
Perlahan Sandy mengemudikan mobilnya. Sesekali ia melirik ke arah Hujan yang belum membuka matanya, ia masih berdoa untuk Embun.
“Embun bertahan ya, masih ada yang sayang sama kamu di dunia ini.” Batin Sandy— tanpa sengaja mata Sandy menetaskan air, namun dengan cepat ia menyekanya.
“Gimana?” Tanya Daffa yang baru saja tiba di rumah sakit.
Daffa kelihatan sangat berkeringat, ia berlari dengan sangat cepat setelah mendengar kabar bahwa Embun berusaha mengakhiri hidupnya.
“Hujan,” panggil Daffa ketika melihat Hujan yang sedang menunduk menangis sejadi-jadinya.
Mendengar panggilan dari suara yang ia kenal. Hujan mengangkat kepalanya. “Kak Daffa,” Sahut Hujan dengan suaranya yang masih bergetar.
Hujan mengenal Daffa dadi Embun, mereka beberapa kali sempat berbincang melalu telepon dan juga Videocall.
“Embun masih di tanganin sama dokter,” Ucap Sandy.
Daffa mengangguk, perlahan ia mengusap kepala Hujan agar gadis kecil itu merasa tenang.
“Kenapa bisa begini?” Tanya Daffa.
Sandy menghela nafas kasar, ia sangat benci untuk mengingat kembali kejadian tadi.
Perlahan ia menjelaskan semua kejadian dari awal. Dari Embun yang jumpa dengan Papa Arkan sampai berjumpa kembali dengan Jonathan.
Hal tersebut membuat Daffa kaget, dan tangis Hujan semakin menjadi.
Kenapa ada manusia seegois mereka?
Malam telah tiba, keadaan Embun baik-baik saja. Dia tidak mengalami hal-hal yang besar.
Hanya saja shock yang membuat dirinya harus tertidur lebih lama. Dan juga kekurangan darah.
Hujan duduk di bangku yang ada di sebelah kasur Embun, ia setia menunggu sang kakak bangun dari tidurnya.
Hujan sangat sakit melihat kedua tangan sang kakak yang terbalut dengan perban, dan juga selang oksigen di hidungnya.
Pelan-pelan Hujan mengusap tangan Embun, menyalurkan rasa sayang, dan juga rasa cinta yang tulus dari dirinya.
“Teh, Hujan tau ini berat. Tapi teteh harus tau, di sini masih banyak yang sayang sama teteh, besok ulang tahun teteh kan?” Ucap Hujan berbicara ke Embun.
Embun menatap mata sang kakak yang masih terpejam.
“Teteh udah janji mau ngerayainnya sama Hujan, Hujan udah ada di sini tapi teteh berusaha pergi.” Air mata Hujan lolos mengalir membasahi pipinya.
Dadanya terasa sesak, namun sebisa mungkin Hujan menahannya. “Teh Embun, Hujan sayang sama teteh. Hujan juga menantikan kehadiran keponakan Hujan nanti.” Hujan tersenyum seraya menatap perut Embun.
Untunglah kandungan Embun tidak kenapa-kenapa.
Hujan bangkit, ia mengecup kening sang kakak, mengusap pelan rambut Embun.
“Hujan gak pernah seberuntung ini di dalam hidup Hujan selain punya teteh kayak teteh Embun, jangan tinggalin Hujan ya teh?”
Hujan kembali duduk, ia kembali memejamkan matanya, berdoa untuk keselamatan Embun.
Sandy yang baru saja kembali ke kamar dimana Embun di rawat, ia melihat Hujan lalu tersenyum lembut.
Hujan menggambarkan sosok Ara di matanya, sama seperti Ara, penyayang dan juga penakut di satu saat. Namun yang membuat mereka beda Ara yang sedikit pecicilan dan Hujan yang tenang.
Melihat Hujan yang sedang berdoa, Sandy teringat di mana Ara juga melakukan hal tersebut di saat ibunya masuk ke rumah sakit karena berusaha bunuh diri.
Namun sayangnya doa Ara tidak di kabulkan, mereka kehilangan sosok ibu saat itu juga.
'Hujan, semoga doa-doa kamu terkabulkan ya,' batin Sandy.
Sandy menepuk pelan bahu Hujan, membuat Hujan membuka matanya.
“Makan dulu ya?”
Hujan menggeleng, ia kembali menggenggam tangan Embun. Nanti Hujan makan sama teh Embun aja.
Sandy menghela nafas mendengar jawab Hujan. “Kamu belum makan dari siang kan? Nanti kalo kamu sakit, siapa yang jaga Embun? Siapa yang akan mendoakan Embun hm?” Sandy menatap mata Hujan berusaha membujuknya agar Hujan mau makan.
Usaha Sandy membuahkan hasil, Hujan akhirnya luluh. Ia mengambil sebuah paper bag yang di bawakan oleh Sandy tadi.
“Terima kasih kak, terima kasih atas kebaikan yang kakak berikan untuk teh Embun dan juga Hujan, Hujan gatau kalo gak ada kakak tadi,” Ucap Hujan seraya tersenyum menatap Sandy.
Sandy mengangguk, ia mengusap pelan rambut Hujan. “My pleasure Hujan, kamu udah seperti adik saya, makan yang banyak habis itu istirahat, gantian sama saya jaga Embun nya.”
Hujan mengangguk, lalu ia berjalan ke arah sofa yang berada tidak jauh dari bed Embun. Sandy menggantikan Hujan, ia duduk di mana Hujan tadi duduk.
Sandy menatap wajah Embun. Sesungguhnya ia sangat benci keadaan sekarang, ia sangat benci melihat orang-orang yang berusaha bunuh diri.
Ia selalu menanamkan pada dirinya sendiri, jika ada masalah maka selesaikan masalah mu, bukan hidup mu.
Namun melihat Embun, perasaan kasihan muncul tiba-tiba. Ia menanam dalam-dalam rasa benci dan juga rasa takutnya.
Bertahanlah sebesar apapun masalahmu. Karena masih ada yang harus kamu cintai, diri kamu sendiri.