Dia
Tw // bullying
“Heh Ara!” Panggil salah satu anak di kelas Ara dengan suara tinggi.
Anak tersebut tidak hanya memanggil Ara dengan suara tinggi namun juga dengan tangan yang menghentak meja, membuat Ara tersentak kaget.
“Ya?” jawab Ara.
Anak itu menyerahkan secarik kertas. “Tuh, punya anak kelas yang mau nitip ke kantin, jangan sampe ada yang kelupaan kayak kemarin, ingat?”
Ini bukan pertama kali bagi Ara, dirinya bukan hanya dijadikan sebagai bahan bully namun juga sebagai pembantu di kelasnya.
Ara sangat ingin melawan, tapi dia tidak punya siapa-siapa terlebih ia selalu mengingat pesan dari papa nya.
“Jangan dilawan kamu bisa membuat nama papa buruk—papa.”
Ara mengambil kertas tersebut tanpa ada perlawanan, ia segera bangkit dari kursinya. Namun ketika ia hendak melangkahkan kakinya, anak yang tadi membentak Ara menjegal kaki Ara, membuat Ara tersungkur di lantai.
Seluruh isi kelas tertawa melihat hal tersebut.
“Upsiee sengaja,” ledek anak yang menjegal kaki Ara.
Ara hanya tersenyum tipis lalu ia kembali berdiri dan segera pergi menuju kantin, sebelum bel masuk berbunyi.
Semua pasang mata tertuju ke Ara, tidak asing bagi Ara karena hal ini sering terjadi. Bahkan sesekali ia dijadikan target bullying oleh kelas lain.
Sesampainya di kantin Ara tidak langsung membeli titipan anak-anak kelasnya. Ia berhenti sejenak mengumpulkan keberanian, karena keadaan di kantin sangat amat ramai.
“Oii cantik,” panggil seorang murid cowo yang sangat di kenal oleh Ara.
Dia adalah Damar, seorang murid cowo yang sangat amat nakal, Ara sangat takut kepada Damar, namun ia tidak bisa menghindar.
Damar merangkul bahu Ara. “Udah kelas tiga masih jadi babu lo?” tanya Damar dengan nada mengejek.
Karena suara Damar yang keras, membuat seisi kantin menertawakan Ara.
“L-lepas,” lirih Ara merasa risih dengan Damar.
“Hah apa? Gue gak denger nih,” ledek Damar dengar seringai di bibirnya.
Ara sedikit menggerakkan badannya agar bisa terlepas dari Damar, namun tenaga Damar lebih besar dari Ara, sampai seketika.
Grepp
Satu tangan menarik tangan Damar yang sedang merangkul paksa Ara.
Ara terkejut melihat orang tersebut. Dia Abian, artis dan juga orang yang sangat disegani di sekolah ini.
“Berani jangan sama cewe dong bro,” kata Abian dengan nada mengintimidasi.
Kini suasana kantin menjadi hening, semua pasang mata tertuju kepada mereka.
“Wow wow wow ada bang jago nih disini.” Lagi-lagi Damar mengejek.
Teman-teman Damar ikut menertawakan Abian.
“Lo berani sama gue?” ancam Abian.
Damar tertawa tipis, seringai di bibirnya belum pudar. “Gue?”
“Ya takutlah hahaha, siapa yang berani sama lo, maaf ya bang jago. Kita pamit,” kata Damar lalu ia segera pergi dari sana.
Namun sebelum pergi Damar sempat menyentuh dagu Ara, dan berhasil mendapatkan tatapan mematikan dari Abian.
“M-makasih,” ucap Ara ke Abian tanpa menatap mata Abian.
“Lo mau jajan? Biar gue temenin,” balas Abian.
“Aku mau beli ini,” ujar Ara seraya memperlihatkan secarik kertas titipan teman-temannya. “Titipan dari temen-temen kelas.”
Abian mengambil kertas tersebut, ia melihat sejenak lalu ia serahkan ke Hendra.
“Jo, Hend beliin terus anter ke kelas dia, pake dulu duit kalian nanti gue ganti tiga kali lipat,” suruh Abian membuat gue ternganga kaget.
Hendra dan Jovian mengangguk. “Siap bos!” Seru mereka berbarengan.
Ara memberanikan diri menatap Abian. “Gak usah Bian, Ara bisa sendiri,” ucap Ara.
Abian tersenyum ketika Ara menatap dirinya. Ia menggenggam tangan Ara dan menariknya keluar dari Kantin.
Ara dapat mendengar suara sorakan dan juga keluhan dari cewek-cewek yang ada di sana.
Genggaman Abian sangat kuat, Ara tidak bisa menolaknya.
“Abian, tangan Ara sakit,” keluh Ara.
Dengan cepat Abian melepaskan genggaman tangannya.
“Oh maaf.”
“Lo udah makan?” tanya Abian.
Ara menggelengkan kecil. “Belum,” jawabnya seraya menunduk.
“Mau jajan dulu ke kantin?” tawar Abian.
Lagi-lagi Ara menggelengkan kepalanya. “Ara bawa bekal.”
“Yaudah ayok gue temenin makan,” ucap Abian tangannya hendak menarik tangan Ara lagi, namun segera ditahan oleh Ara.
“Gak usah Abian,” tolak Ara.
Abian menjawab dengan senyuman, ia tidak mendengar penolakan Ara.
Setelah mengambil bekal milik Ara, kini Abian membawa Ara ke taman sekolah.
Ara mendapatkan banyak tatapan tidak suka ketika ia berada di kelas tadi, namun tidak ada yang berani menyentuh Ara karena keberadaan Abian.
“Dimakan kenapa dilihatin aja?” tanya Abian karena Ara tidak membuka bekalnya.
“Malu,” jawab Ara pelan.
Abian menyatukan alisnya kebingungan. “Kenapa harus malu?”
Ara terdiam, ia malu karena bekalnya hanya nasi dan juga telur mata sapi yang ia taburi sedikit kecap manis.
Abian merebut bekal Ara, lalu tanpa izin ia membuka tutup bekal Ara.
Ara menatap Abian, muka Ara memerah karena malu.
“Malu Abian, aku cuman makan nasi sama telur.”
Abian menghela nafas, ia tidak percaya dengan jalan pikiran Ara.
“Kenapa harus malu? makan telur sama nasi doang.”
Abian memakan sesuap nasi dan juga telur milik Ara. Ia mengangguk keenakan.
“Enak, kenapa harus malu?”
Ara menatap Abian tidak percaya. “Kok dimakan?” protes Ara.
Bukannya berhenti Abian masih terus memakan bekal tersebut.
“Lo malu kan? Yaudah gue makan,” sahutnya dengan tenang.
“Terus Ara makan apa?”
Abian mengeluarkan sebuah roti kecil dari saku celananya, ia menyerahkan roti tersebut untuk Ara.
Ara mengambil roti tersebut, lalu ia melihat Abian terus memakan bekal miliknya.
“Tuh makan roti biar gak malu,” ucap Abian dengan mulut yang terisi penuh.
Ara terdiam sejenak ia benar-benar kebingungan.
Beberapa menit kemudian Ara mendapatkan bekal makanannya kosong, habis dimakan Abian.
Abian mengacungkan jempol. “Mantap,” ucapnya dengan senyum lebar.
“Hoek Hoek,” Abian memuntahkan semua isi perutnya dibantu oleh Hendra dan juga Jovian.
“Lagian ente udah tau alergi telur, bisa-bisanya makan telur, astagfirullah,” omel Hendra dengan tangan yang masih mengusap punggung Abian.
“Uks uks,” lirih Abian, dirinya hampir kehilangan kesadaran karena pusing yang sangat amat menyakitkan.
Karena alergi yang Abian miliki, kini ia harus terbaring lemah di kasur UKS. Untung saja tidak ada gejala yang parah, jadi dia hanya perlu beristirahat sejenak.
Dari luar seseorang membuka pintu ruang UKS, diam-diam ia menghampiri Abian.
Orang tersebut adalah Ara, ia baru ingat bahwa Abian mempunyai alergi terhadap telur, maka dari itu ia sudah menduga bahwa Abian akan terbaring lemah di UKS.
Ara meletakkan sebuah susu kotak di samping Abian, lalu tangannya merogoh saku baju yang ia kenakan. Ara mengambil sebuah plaster dan juga pena.
Perlahan Ara menuliskan kata sorry di plaster tersebut, lalu ia tempelkan di punggung telapak tangan sebelah kiri Abian.
Setelah itu Ara segera keluar dari ruangan UKS, agar tidak menggangu Abian, dan juga tidak ketahuan oleh guru yang sedang menjaga.
Abian tidak sepenuhnya tertidur ia hanya merasa pusing dan lemah, maka dari itu ia menyadari kehadiran Ara.
Setelah Ara keluar, Abian membukakan matanya dan melihat tangan yang sudah ada plaster bertuliskan sorry.
Abian tersenyum melihat plaster tersebut, sebelum berkata, “it's okay.”