dua
“Mama mana, Ayah?”
Ran sedari tadi menunggu Johnny di depan pintu rumahnya, ini sudah jam lima sore dan dia masih setia menunggu dari jam dua siang tadi.
Ran hanya tinggal bersama Maraka dan Hazel di rumah, karena Mamanya sudah dua hari tidak pulang, dan Johnny sama sekali tidak bisa meninggalkan pekerjaannya.
“Adek, ayok mam!” teriak Maraka yang baru saja bangun dari tidur siangnya.
Maraka yang masih berusia enam tahun tidak tahu bagaimana caranya bisa membujuk Ran agar bisa makan.
Maraka pun melangkah dan menghampiri Ran yang masih saja diam di depan pintu.
“Ayok mam, adek,” ajaknya lagi.
Ran menggelengkan kepalanya, dia tidak menghiraukan Maraka.
“Adek mau apa?”
“Mau Mama, Abang.”
Maraka seketika diam, dia tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan dirinya saja bingung kemana Mamanya pergi beberapa hari ini.
“Nanti Ayah mar—”
“Ayah!” Ran berteriak dengan begitu kencang saat motor Johnny berhenti di depan halaman kecil rumahnya.
Segera Ran bangun dan berlari kecil menghampiri Johnny. Setelah Johnny melepaskan helmnya, Johnny tidak sadar ada Ran yang sedari tadi menunggu untuk disambut, dia berjalan begitu saja masuk ke dalam rumah dengan wajah masamnya.
Namun, Ran masih belum menyerah, dia pun segera menyusul Johnny. Saat sudah di samping Johnny, Ran menarik-narik kecil celana yang Johnny kenakan.
“Mama mana, Ayah?” tanya Ran dengan polos.
Menyadari kehadiran Ran, Johnny pun menghentikan langkahnya, dia melihat kebawah sudah ada Ran di sana.
“Ayah, Mama, Ran mau Mama,” ucapnya lagi.
“Ayah, Ran belum makan!” seru Maraka yang baru saja menutup pintu rumah dan menghampiri Johnny dengan Ran, tidak lupa dia mengadu kepada Johnny.
Johnny pun mengernyit, wajah lelahnya semakin menjadi lelah ketika mendengar pengaduan dari Maraka.
Johnny merendahkan tubuhnya untuk mengangkat tubuh kecil Ran.
“Ayo makan Ayah suapin,” kata Johnny tanpa berbasa-basi membawa Ran ke dapur.
“Nda! Ran mau Mama, Ran mau Mama!” Ran merengek dengan berteriak, sangking kerasnya suara Ran, Hazel pun terbangun dan menghampiri Johnny, Ran, Maraka yang sudah ada di dapur.
“Turun! Turun!” Ran memberontak agar Johnny menurunkannya.
Karena tubuh Johnny begitu lemah, dia pun menurunkan Ran dari gendongannya.
“Makan dulu, Ran, Ayah capek. Jangan gini, ya?”
“Ran mau Mama! Mama! Ran gak mau makan kalo gak ada Mama!”
Plak!
Suara itu berhasil membuat Maraka dan Hazel membeku di tempat. Pasalnya, baru saja detik itu dengan mata kepalanya sendiri, Maraka dan Hazel melihat Johnny memukul tubuh kecil adiknya dengan begitu keras.
“Mama!” Ran menangis dengan begitu histeris, bahkan dalam tangisnya itu dia masih saja menyebut Mamanya.
Ran segera berlari ke kamar, diikuti oleh Maraka, tidak lupa dia menarik tangan Hazel.
Setelah ketiga anaknya itu masuk ke dalam kamar, Johnny menjatuhkan tubuhnya seketika. Dia baru saja menyadari apa yang baru saja dia lakukan. Untuk yang pertama kalinya Johnny berbuat kasar kepada Ran.
Lelahnya membuat Johnny seperti ini. Johnny tahu ini salah, namun semuanya sudah terjadi.
Setelah sekian lama, Johnny pun beranjak menuju kamar anak-anaknya, perlahan dia membuka pintu itu, mereka tidak sadar atas kehadiran Johnny. Dari ambang pintu Johnny melihat Maraka terus menghapus air mata Ran, Hazel yang hanya berdiri diam di sisi kasur tanpa berbuat apa-apa, dan Ran yang terus menangis sambil meneriaki kata 'Mama'.
Johnny tidak tahu harus berbuat apa, hubungannya dengan istirnya tidak berjalan dengan lancar, dua hari yang lalu mereka baru saja mengalami pertengkaran yang begitu hebat.
Johnny mendapatkan fakta kalau Karin—istrinya itu—selingkuh darinya. Johnny masih berusaha untuk tidak mempercayai fakta itu, dan masih yakin kalau semuanya baik-baik saja.