dua belas
Aku dari tadi tidak berhenti mondar-mandir di depan pintu kamar Ayah. Entah kenapa aku gugup sekali, padahal ini bukan pertama kali aku dipanggil oleh Ayah.
Notifikasi di ponsel ku membuat ku terlonjak kaget. Ternyata itu pesan dari Ayah, tanpa sengaja aku membalas pesannya dengan tidak sopan, nasibku benar-benar sudah di ujung tanduk harimau!
Tanpa menunggu lama lagi aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamar Ayah, dan membukanya perlahan.
“Ayah, ini Azel,” kataku menyapa.
Aku lihat Ayah sedang duduk di tepi kasur, dia tersenyum menyambut ku.
“Sini duduk,” titahnya sambil menepuk tepi kasur di sampingnya.
Aku pun langsung berjalan ke sana, tidak lupa aku menutup pintu lagi tentunya. Entah kenapa jantungku berdetak dua ribu kali lebih cepat kala aku sudah duduk di samping Ayah.
Rasanya tidak bisa aku jelaskan pakai kata-kata. Aku memainkan jari-jari karena gugup, apalagi sekarang Ayah hanya diam.
“Ada apa Ayah?” tanyaku memberanikan diri untuk bertanya duluan.
Ayah menolehkan kepalanya, kini matanya beradu tatap denganku, entah kenapa aku dengan refleks menarik pandanganku agar tidak beradu tatap dengan Ayah.
“Tadi ada donatur datang ke panti asuhan,” jawab Ayah.
Lantas mengapa? Biasanya juga sering, 'kan? Aku mulai membayangkan hal-hal aneh yang akan terjadi.
“Mereka orang yang mau adopsi Rainan,” sambung Ayah.
Aku terlonjak, sontak aku menoleh kembali beradu tatap dengan mata Ayah.
“Rainan mau diadopsi?” tanyaku memastikan, siapa tahu aku hanya salah mendengar, 'kan.
Ternyata tidak, Ayah mengangguk begitu yakin. Kabar apa ini? Aku memang sering membuat Rainan kesal, tapi aku belum siap kalau harus berpisah dengan Rainan, sepertinya aku harus berubah.
“Kenapa?”
“Ya, ini, “kan, panti asuhan, Azel. Ada kalanya orang tua di luar sana mengadopsi anak-anak dari sini. Dan, enggak selamanya Ayah bisa bersama kalian semua.”
Ya, aku tahu itu. Tapi kenapa harus Rainan? Aku tahu kalau di panti asuhan tidak ada yang menetap selamanya, aku sering melihat adik-adik ku yang lainnya diadopsi oleh orang kaya, tapi aku tidak pernah menyangka kalau Rainan pun akan diadopsi.
Aku menghela napas kasar, lagian aku bisa apa kalau memang ada orang yang akan mengadopsi Rainan.
“Kenapa bilang ke Azel, Yah?” tanyaku penasaran. Padahal, 'kan, bisa saja Ayah memberi yang lainnya duluan.
“Ayah juga udah bilang ke Jovan dan Navan.”
Aku terkejut bukan main, apa jangan-jangan Rainan sendiri sudah tahu.
Aku menatap mata Ayah lekat.
“Rainan juga tahu?”
Ayah mengangguk. Aku menunduk kecewa, ternyata memang selalu aku yang tahu terakhir. Selalu aku yang mendapatkan terakhir, dari dulu.
Aku menghela napas panjang lagi, rasanya sangat ingin keluar dari sini sekarang.
“Tapi kenapa Ayah kasih tahu satu persatu?” Aku bertanya tanpa menatap Ayah.
“Karena Ayah mau kalian saling menjaga satu sama lain, dan lebih dekat satu sama lain setelah tahu semua ini.”
Aku mulai menerka kalau mungkin Jovan dan Navan juga diadopsi? Tapi, aku tidak berani bertanya.
Tapi dipikir-pikir kalau Rainan, Jovan dan Navan diadopsi, barang-barang dari donatur bakalan jadi milik aku sepenuhnya, 'kan?
“Kalo gitu barang pemberian donatur bakalan jadi milik Azel, 'kan, Yah?” Tanyaku.
Ayah tidak langsung menjawab, Ayah hanya tersenyum, senyum yang sulit aku pahami.
“Yah?”
Aku mendengar Ayah menghela napas begitu kasar. Sepertinya dari helaan napas itu, aku sudah tahu apa jawabannya.
“Donatur yang selama ini kasih untuk mereka bertiga, itu dari orang-orang yang akan mengadopsi mereka, kecuali Rainan.”
Ayah menjawab tanpa menatapku. Aku tersenyum simpul, seharusnya aku sadar dari dulu.
Aku tidak pernah dapat baju baru, aku tidak pernah dapat sepatu baru, aku tidak pernah dapat makanan enak seperti mereka. Harusnya aku sadar, 'kan?
Aku menghela napas kemudian menepuk kedua paha ku sekalian.
“Harusnya Azel sadar diri, udah gede juga,” kata ku, aku iringi kekehan agar terdengar tidak begitu serius.
Tapi sepertinya Ayah menganggap itu serius.
“Kamu bisa minta ke Ayah, Azel. Apapun yang kamu minta Ayah usahain untuk kamu.”
Aku tidak menanggapi itu, aku berdiri menatap Ayah, kemudian berkata, “Azel bakalan bersikap baik ke Rainan dan Jovan dan Navan, sampai mereka diadopsi, selamat malam, Ayah.”
Tanpa menunggu tanggapan Ayah aku melangkah keluar dari kamar Ayah. Lagian, ngapain lagi aku di sana, meminta apapun yang aku mau? Tidak mungkin, bahkan Ayah tidak bisa memenuhi keinginan dirinya sendiri.
Ayah memanggilku hanya untuk bilang kalau kehidupan Rainan akan jadi lebih baik nantinya, dan aku akan lebih menderita. Di panti asuhan tanpa ada kebahagiaan.