dua belas

“Sepi amat rumahnya,” kata Yan membuka topik pembicaraan.

Sekarang aku dengan Yan dan Gisel sudah sampai di rumah. Aku bawa mereka ke ruang tamu, awalnya aku ingin sekali mengajak mereka ke kamar, ya, kerja kelompok di kamar.

“Lo gak takut, Zel?” tanya Yan.

Aku menggeleng. “Gue sering pulang malam, jadi gak banyak aktifitas di rumah.” Lagian aku di rumah cuman tidur selebihnya aku menghabiskan waktu di tempat les.

“Lagian apa yang harus ditakutin, dasar cupu lo, Yan,” cicit Gisel dengan nada bercanda.

Aku tertawa mendengarnya, begitu juga dengan Gisel. Yan yang jadi topik ejekan merasa kesal, namun tidak membalas ejekan Gisel.

Kemudian kami memulai kegiatan utama kami. Ya, mengerjakan tugas kelompok tentu saja.

Biasanya dulu kalau tugas kelompok seperti ini aku satu kelompok sama Rainan, Jovan sama Navan, jadi aku cuman diam dan menerima hasilnya. Kalau sekarang aku harus ikut serta dari awal.

Untungnya Yan dan Gisel banyak membantu, jadi tidak terlalu susah.

“Enakan di sini atau di panti, Zel?” tanya Yan tiba-tiba.

Aku yang sedang fokus pun terkejut mendengar pertanyaan Yan. Kalau boleh jujur aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.

“Di sini, sih,” jawabku berbohong. Karena setelah dijalanin tidak seenak angan-angan ku.

Yan mengangguk, terus dia kembali bertanya, “Lo gak kangen sama panti, Zel?”

“Kangen lah pasti.”

“Karena udah jauh, ya.”

Aku mengangguk membenarkan.

“Sebenarnya bukan karena udah jauh,” kata Gisel, menarik perhatianku dan Yan.

“Gue pernah dibilang sama seseorang. Semakin kita tumbuh, semakin rindu.”

Aku sedikit geli sama pemilihan katanya, tapi ada benarnya juga. Semakin bertumbuh dan bertambahnya usia, merindukan masa-masa lalu begitu sering terjadi.

“Kata-katanya sedikit alay, tapi ada benarnya juga,” balasku.

Yan dan Gisel sontak tertawa.

“Gak heran, sih, yang bilang begitu orangnya memang alay, terus aneh,” ujar Gisel.

Mendengarnya saja aku sudah bisa menggambarkan sosok orang itu, mungkin aneh seperti Rainan.

“Tapi sekarang dia udah gak sama kita lagi,” kata Gisel terdengar lirih, dia menatap Yan yang terlihat sedih dengan perkataan Gisel.

Aku mengernyit tidak paham. “Maksudnya?”

“Dia diadopsi sama keluarga kaya raya, sekarang menghilang, gak ada kabar, kita juga gak tahu dia masih hidup atau enggak,” jawab Gisel.

Entah mengapa tiba-tiba aku menjadi takut. Seseorang itu sama seperti Rainan, Jovan dan Navan. Menghilang begitu saja.