DUA PULUH SATU
Padahal tadi aku berniat untuk tidur tapi entah kenapa mataku rasanya berat, dan akhirnya aku memilih untuk keluar rumah, duduk di depan rumah. Tidak peduli dengan gelapnya malam, setidaknya masih ada bulan dan cahaya lampu yang menemani ku.
Aku menekuk kedua kaki dan memeluknya dengan erat, entah apa yang membuatku seperti ini, aku sama sekali tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Setelah mendengar kalau Rainan akan diadopsi aku tiba-tiba jadi begini. Satu hal terlintas dibenakku, aku iri dengan keberuntungan yang dimiliki Rainan.
Aku sering lihat Rainan mendapatkan barang-barang bagus yang aku ketahui dari donatur, ternyata itu donatur tetapnya. Di panti asuhan memang ada donatur tetap yang adil, tapi dia lebih mementingkan adik-adikku yang lain, sedangkan aku, Rainan, Jovan dan Navan hanya bisa mengandalkan uang dari hasil jualan dengan Ayah. Tapi, aku tidak seberuntung Rainan, Jovan dan Navan yang tanpa sepengetahuanku ada orang baik yang membantu mereka.
Aku menghela napas panjang. “Kenapa gue begini, ya,” monolog ku.
“Lo kenapa?”
Aku terlonjak kaget dan sontak menoleh ke belakang, aku lihat Jovan sedang berdiri di pintu sembari menatapku. Aku tidak ingin menimbulkan kecurigaan, jadi aku memilih untuk tersenyum, senyum yang biasa aku kembangkan kepada siapapun.
“Nggak apa-apa,” jawabku berbohong tentu saja. Jovan berjalan dan duduk di samping ku, aku sedikit kaget tapi berusaha untuk biasa saja. Setelah Jovan duduk di samping ku, aku mendengar dia menghela napas begitu panjang.
“Kalau ada apa-apa cerita aja, sih, Zel. Di antara kita cuman lo yang jarang cerita, keluh-kesah gitu,” katanya kepadaku, dia mengatakan itu tanpa menatapku—tatapannya lurus ke depan.
Aku tersenyum kecut, haruskah aku mengatakan kalau aku iri kepada mereka, sepertinya lebih baik tidak, ‘kan. Lagian nasib kita sama, sama-sama tidak tahu siapa orang tua kandung kita dan sama-sama tinggal di panti asuhan.
“Lo kenapa belum tidur, dah?” tanyaku, mengalihkan topik pembicaraan. Sedikit aku berharap Jovan tidak akan bertanya lagi.
Jovan tertawa, aku mengernyit kebingungan, kenapa dia tertawa apa yang dia tertawakan. Perasaan pertanyaanku biasa saja. Jovan menatapku, dia tersenyum, tidak hanya bibirnya tapi matanya pun ikut tersenyum, rasanya sangat jarang melihat Jovan seperti ini. Dia lebih sering memasang wajah serius atau khawatir terlebih kalau Navan di sisinya.
“Lo yang paling hebat kalau lagi nutupin sesuatu.”
“Lo juga, Jo.”
Kita tertawa bersamaan, entah apa yang kita tertawakan. Ah, mungkin saja nasib yang sama.
“Tadi gue dikasih sepatu sama orang baik, rasanya gue seneng banget pertama kali pakai barang mahal,” ucap Jovan terdengar begitu ceria.
Aku sangat yakin dia tidak berbohong tentang perasaannya sekarang. Entah mengapa rasanya begitu hangat ketika melihat Jovan tersenyum dan bahagia seperti ini. Aku jadi berpikir kalau memang mereka akan diadopsi oleh orang lain nanti, aku tidak boleh egois, ‘kan? Mereka bahagia dengan begitu, walau nanti aku yang akan merasakan kesedihan dan juga kesepian di rumah. Bukan rumah, tapi … panti asuhan.