.
Embun berusaha menahan pusing dan mual yang ia rasakan. Ia masih menunggu balasan dari Sandy, namun sudah hampir 30 menit tidak ada jawaban dari Sandy.
“Abang bentar ya, kamu jangan nangis ya.”
Dengan cepat Embun berlari ke kamar mandi. Sesampainya disana ia terduduk lemas di depan kloset, memuntahkan semua isi perutnya.
Hoekk
Embun benar-benar memuntahkan semua isi perutnya tanpa sisa, tubuhnya terasa bergetar dengan hebat.
Setelah dirasa tidak ada yang harus ia muntahkan lagi, Embun berusaha bangun, namun sialnya kakinya tidak sanggup, kaki Embun melemah.
Ia terjatuh untung saja tertahan oleh dinding kamar mandi. Embun masih berusaha untuk bangun, namun tidak bisa tubuhnya bergetar dan kakinya terasa lemah.
“Arghhhh.” Embun berteriak, di luar sana Embun mendengar suara tangis Galaxy.
Embun masih berusaha, namun tidak bisa, ia tau pasti ini gejala dari penyakit yang bersarang di tubuhnya.
Embun menyeret tubuhnya mendekati meja wastafel yang tidak jauh darinya.
Walaupun rasa sakit yang luar biasa menguasai tubuhnya ia berusaha meraih obat yang ada di meja wastafel tersebut.
“Argghh, a-abang se-sebentar,” ringis Embun sebisa mungkin ia meraih obatnya.
Suara tangis Galaxy semakin keras, untung saja Embun berhasil meraih obatnya.
Segera ia menelan obat tersebut tanpa ada air. Dirasa mulai bisa mengendalikan dirinya, Embun berusaha berdiri dan meminum air dari keran wastafel.
Untung saja rasa sakitnya cepat berlalu, Embun segera keluar dan segera menggendong Galaxy.
“Maaf nak, maafin bunda.”
“Aku udah cerai sama Rio,” ucap Ocha.
Sandy benar-benar menghampiri Ocha di restoran kemarin.
“Kamu tau kan kita putus karena aku dijodohin sama Rio,” sambung Ocha.
Sandy hanya diam.
“Sekarang aku udah gak ada hubungan lagi sama dia, orang tua aku juga udah kasih kebebasan buat aku,” kata Ocha menjelaskan semuanya.
“Ayo balikan San, aku masih sayang sama kamu,” ungkap Ocha membuat Sandy tersentak dan menatap mata Ocha.
Tatapan yang tidak bisa diartikan.