.
Embun ingin mengakhiri ini semua
Embun meringkuk di dalam selimut, ia menangis sejadi-jadinya di sana.
Meluapkan semua emosinya, bahkan sesekali ia berteriak, tidak perduli jika Hujan mendengar teriakannya.
Ia lelah, ia sangat ingin penderitaan ini berakhir secepatnya.
“Jo, secepat itu kamu melupakan aku?” Lirih Embun.
Embun memukul kepalanya berkali-kali, berharap semuanya berakhir.
“Aku udah berusaha ngelupain kamu Jo.”
“Tapi gak bisa!” Suara Embun meninggi.
“Aaaaaaaaaaaaa!!” Embun berteriak dengan sangat kencang.
“Kenapa! Apa Embun hidup di dunia ini sebagai hukuman? Apa Embun gak berhak bahagia?”
Lagi-lagi Embun memukul kepalanya, bahkan dadanya.
Embun memegang perutnya ia tersadar kini, ia hidup berbadan dua. Namun pikiran Embun sedang tidak jernih.
Ia memukul dengan keras perutnya, ia tidak peduli sakit yang ia rasakan.
“Kenapa kamu hadir ketika ayah kamu udah gak di samping Bunda lagi!”
“Kamu udah gak di butuhkan lagi!” Embun semakin kuat memukul perutnya.
Tangis Embun semakin pecah, ia dapat mendengar teriakan Hujan dan juga Sandy yang meneriaki namanya dari luar.
“Maaf, maaf Embun tidak sekuat yang kalian kira.”