.
Embun terbangun dari tidurnya, karena alarm yang sedari tadi berteriak layaknya ibu yang sedang membangunkannya.
Embun ngerasa aneh dengan badannya hari ini. Nafasnya terasa panas dan juga kepalanya terasa berat.
Tringg
Handphone Embun berbunyi, kali ini bukan alarm melainkan sebuah panggilan masuk dari Hujan.
“Halo Hujan,” Ucap Embun membuka pembicaraan.
“Halo teh ini Hujan bentar lagi nyampe ke apart teteh ya, ini udah di bawah,” Jawab Hujan melaporkan bahwa dirinya sudah hampir tiba.
Memang Hujan sudah berencana untuk menginap di kota di mana Embun berada. Dan semalam ia berangkat seorang diri, walaupun sudah di larang oleh Embun, namun dia tetap saja melawan.
“Iya password nya tau kan.”
“Tau teh, kok suara teteh lemes banget?” Tanya Hujan dari balik telepon.
“Teteh gp-” belum sempat Embun melanjutkan kalimatnya, tiba-tiba saja perut Embun serasa di guncang, ia seperti ingin mengeluarkan isi perutnya.
Dengan segera Embun berlari ke kamar mandi, tidak memperdulikan suara Hujan yang sedari tadi berteriak.
Sesampainya di kamar mandi ia jongkok di depan kloset hendak mengeluarkan semua isi perutnya.
Embun udah hoek-hoek berkali-kali namun anehnya tidak ada apa-apa yang keluar.
Kepalanya terasa sangat pusing, ia kembali teringat bahwa dirinya sekarang sedang mengandung.
“Mungkin ini yang di namakan morning sick?” Tanya Embun kepada dirinya sendiri.
Brakk
Tiba-tiba saja Embun mendengar suara pintu di banting. Dan detik kemudian ia melihat Hujan di depan pintu kamar mandinya. Ia sedikit lega bahwa yang baru saja masuk itu adalah sang adik.
“Teteh kenapa?” Tanya Hujan panik, ia segera berjongkok di samping Embun, mengelus punggung sang kakak.
Lagi-lagi Embun merasa mual, ia kembali ingin memuntahkan semua isi perutnya walaupun hasilnya tidak ada apapun yang keluar.
Embun di bantu oleh Hujan yang setia mengelus punggung sang kakak dengan raut wajah khawatir.
“Udah enakan teh?” Tanya Hujan.
Embun mengangguk, ia menggenggam tangan sang adik seakan-akan meminta tolong untuk di bawa keluar.
Dengan sigap Hujan memapah Embun ke kamarnya, dan menidurkan sang kakak di kasurnya.
Hujan menatap mata Embun khawatir, bahkan kini matanya terlihat berkaca-kaca.
“Teteh gpp,” Kata Embun menenangkan Hujan.
Namun sayangnya perkataan Embun malah membuat tangis Hujan pecah.
“Apanya yang gpp? Kenapa teteh gak bilang kalo teteh sakit, kalo Hujan gak kesini siapa yang bakalan lihat teteh?” Omel Hujan lalu memeluk tubuh Embun.
Air mata Embun ikut turun, namun ia berusaha untuk menahannya.
“Teteh kenapa?” Tanya Hujan lagi.
Embun menghela nafas ia melepas pelukannya, lalu mengubah posisi menjadi duduk dan bersandar di sandaran kasur Single bad nya.
“Sini,” ucap Embun seraya merentangkan tangannya.
Dengan cepat Hujan kembali masuk ke pelukan sang kakak, pelukan yang sangat ia rindukan.
Embun menceritakan semuanya kepada Hujan, tanpa satupun yang tertinggal, dan dia juga bilang bahwa dirinya sekarang sedang mengandung anak Jonathan.
Tangis Hujan semakin menjadi, hatinya sangat sakit mendengar semua penderitaan yang di alami sang kakak.
Perlahan Hujan mengelus perut rata Embun, ia tersenyum walaupun air matanya tidak berhenti mengalir.
“Adik kecil baik-baik di sana ya, biar aunty yang jaga Bunda di sini. Adik kecil jangan nakal ya, nanti Bunda sakit kalo adik kecil nakal,” Ucap Hujan dengan lembut mengobrol dengan perut Embun.
Embun tidak tau harus apa sekarang, ia sedih melihat betapa menyakitkan kehidupan, namun di sisi lain ia senang karena banyak yang sayang kepada dirinya dan juga bayi yang ada di kandungannya.
Di umur sekarang ketika ia sedang mengalami morning sick seharusnya sang suami lah yang akan menemaninya, namun betapa menyedihkannya nasib Embun.
Namun ia tetap bersyukur apapun yang terjadi pada dirinya sekarang.