.

“Fito.” Bunda memanggil Fito dengan suara yang sedikit keras.

“Iya bun,” sahut Fito. Fito seperti biasa mendorong roda kursi rodanya keluar dari kamar menghampiri bunda.

“Ada apa bun?” tanya Fito.

Bunda tidak langsung menjawab, ia melemparkan senyuman lembut kepada Fito.

“Gak kenapa-kenapa, bunda khawatir satu harian ini kamu di kamar terus. Kamu gak kenapa-kenapa kan? Kamu udah gak menghitung lagi kan?”

Fito menundukkan kepalanya, ia tidak tau harus menjawab apa.

“Maafin Fito bun,” jawab Fito pelan.

“Kamu mau tega ninggalin bunda sendirian?” Suara bunda kini mulai serak seperti hendak menangis.

Fito menghela nafas berat sebelum mengangkat kepalanya. “Luka lama Fito terbuka kembali bun, Fito tau seberapa usaha yang bunda kerahkan untuk Fito. Nyatanya Fito gak sanggup bun.”

“Maafin bunda, Fito.”

“Bukan, bukan salah bunda, ini udah keputusan Fito.”


Karena merasa bosan, kini Fito sedang berada di teras rumahnya, menikmati sejuknya angin sore.

Namun tiba-tiba pandangan Fito tertuju pada seseorang yang melewatinya begitu saja.

Seseorang itu adalah Ran, cewek yang tadi pagi menyapa Fito, namun anehnya kenapa dia tidak menyapa Fito lagi.

“Hei,” panggil Fito namun Ran tidak menyahutnya.

“Randika putri Aditya.” Fito kembali memanggil Ran dengan nama lengkap Ran.

Merasa terpanggil Ran akhirnya menghentikan langkahnya dan berbalik menghampiri arah suara.

“Ran?” heran Ran seraya menunjuk dirinya.

Tak kalah keheranan, Fito juga merasa heran dengan tingkah laku Ran sekarang.

“Iya kamu, kamu yang tadi pagi sapa aku pas ke sekolah.”

Ran terdiam seperti sedang memikir. “Ahh!” sontak Ran.

“Sebentar,” ucap Ran lalu dirinya segera berlari menuju rumahnya.

“Lah,” lirih Fito kebingungan.


“halo, nama aku Ran. Randika putri Aditya, aku kelas satu menengah atas, aku sekolah di SMA swasta Aksara yang ada di persimpangan, di depan pizza hut.”

Ran kini kembali menghampiri Fito, dengan satu buku kecil yang ada di tangannya. Mengingat dirinya yang mengidap sindrom short term memory loss, akhirnya Ran memperkenalkan dirinya kembali kepada Fito.

“Aku tau,” sahut Fito.

“Hehe maaf ya, nama kamu siapa?” tanya Ran.

Fito menyeringitkan keningnya kebingungan. “Aku udah perkenalan tadi pagi,” jawab Fito tegas.

Ran terdiam ia tidak tau harus menjelaskan bagaimana kepada Fito.

“Fito bisa jaga rahasia gak?” tanya Ran.

Fito terdiam sejenak, lalu ia mengangguk.

“Fito baca ini,” suruh Ran seraya menunjukan catatan mengenai short term memory loss yang ia derita.

“Short term memory loss, atau sindrom Dory,” eja Fito. Lalu Fito mengangkat kepalanya menatap mata Ran. “Kamu?”

Ran mengangguk. “Maafin Ran ya, Ran lupa nulis perkenalan kita tadi pagi, jadi Ran gak baca tadi, maafin Ran lupa sama Fito.”

Fito terdiam sejenak, ia berusaha untuk memahami kondisi Ran.

Setelah beberapa menit, kini Ran dan juga Fito sedang mengobrol dan bercanda satu sama lain. Sebelumnya mereka sempat bertukar nomor.

Tidak ada perasaan aneh bagi mereka, Fito merasakan hal yang berbeda terhadap Ran, walaupun Ran sangat mirip dengan luka lamanya, namun ada sisi lain Ran yang membuatnya nyaman.

Begitu juga dengan Ran, sekian lama dirinya tidak mempunyai teman, akhirnya kini dirinya mempunyai teman yang bisa mendengar semua candaannya.

Fito dan juga Ran menjadi teman dan juga tetangga yang baik walaupun hanya dalam waktu singkat.


“Ayah,” lirih Ran.

Fito mengalihkan pandangannya ke arah dimana Ran menatap. Dari jauh seorang pria berjalan menghampiri mereka.

“A-ayah,” ucap Ran gugup ketika pria tersebut berhenti tepat di depan mereka. Pria tersebut adalah Johnny, ayah Ran.

“Om,” sapa Fito dengan ramah.

“Pulang,” suruh Johnny kepada Ran dengan nada tidak bersahabat.

Ran segera berdiri dan berpamitan kepada Fito.

Fito merasa aneh, ia melihat Johnny menarik tangan Ran dengan kasar.

“Dia gak kenapa-kenapa kan?”